Rabu, 18 November 2015

KEKUATAN MEMAAFKAN

Bulan Maret lalu Jupe masuk tahanan, kini giliran Depe alias Dewi Persik masuk bui. Meski tidak mau naik mobil Kejari dan memilih naik Jaguar, tapi pasti hatinya tercabik-cabik dan terluka. Siapapun orangnya pasti tidak mau dipenjara, tempat tidak nyaman, kebebasan terampas, dan pasti menjadi beban seumur hidup. Kalau bisa dihindari, kenapa tidak? Keduanya sama-sama menanggung akibatnya karena berseteru di sela-sela syuting Arwah Goyang Kerawang, empat tahun lalu. 

Sebetulnya mudah saja supaya mereka tidak masuk bui, hanya saling memaafkan. Mereka tidak perlu biaya besar untuk membayar pengacara dan tidak perlu menghadiri sidang yang melelahkan jiwa raga. Semua akan berjalan damai, bila mau mengalah. Sayangnya mereka memilih jalan lain. Dulu Depe merasa di atas angin saat Jupe dipenjara. Tetapi kini giliran dia merasakan hal yang sama dengan Jupe. Jadi, rentetannya menjadi panjang, hidup pun menjadi tidak tenang. 

Sebetulnya rasa sakit hati itu bisa muncul karena itu sangat manusiawi, tetapi juga bisa diredakan bahkan dihilangkan. Kita bebas memilih yang mana, dengan segala resikonya. Ketika rasa berbicara, kita kadang menjadi gelap mata. Sesuatu yang kecil menjadi terlihat besar. 

Memaafkan itu mungkin memang mudah dikatakan, tetapi susah dilakukan. Akan tetapi, kalau kita mau melakukan, rasa damai itu akan mengalir di dada, bagai setetes embun pagi, menyegarkan dan menyembuhkan luka jiwa kita. 

Belajar dari Jupe dan Depe, kalau kita berkonflik dengan orang lain, wajar kita akan mengalami sakit hati. Jiwa kita terluka. Kita akan melihat diri kita benar, dan lawan pasti salah. Bahkan mungkin kita akan membagikan rasa sakit hati itu. Tetapi hidup jalan terus, kan? Maukah hidup kita akan tersandung-sandung dan jalan hidup kita terhuyung-huyung karena hati kita limbung? Pasti enggaklah, onak nan perih itu harus kita singkirkan dari hati kita. Kadang kita menuntut si lawan meminta maaf terlebih dulu. Tapi kalau kita tidak bisa mengubah dunia, kenapa bukan kita saja yang berubah? Kalau kita ingin dimaafkan, ya kita mulai memaafkan terlebih dulu. Saya rasa kita menjadi lebih berharga bila mau memulai lebih dulu. Masalah si dia belum mau berubah, itu masalah dia, bukan masalah kita. Kalau hidup bisa dibuat ringan, kenapa dibuat berat?

catatan 16-2-2014

LIMA LANGKAH MUDAH, JADIKAN TABMU SEBAGAI MODEM

Nah, buat yang punya tab tapi gak mau pakai modem lagi. Tapi butuh ngetik-ngetik atau pengen ngirim email tapi file ada di laptop, nih langkah mudah jadikan tab sebagai modem.  Kalau ada fasilitas kenapa gak digunakan ya enggak Mas Bro? Kan bisa dua orang pakai, satunya pakai laptop, satunya pakai tab. Irit, bukan?

1.     Klik Setting atau Pengaturan gambar roda putih dalamnya biru.
2.     Klik More Setting atau Pengaturan gambar kotak abu2 ada 3 titik putih
3.     Klik Tethering dan portab (ada keterangan berbagi koneksi data seluler perangkat lewat USB, Wi-Fi atau Bluetooth)
4.     Klik Hotspot Wi-Fi,pilih angka 1 yg kanan. Nanti keluar kata sandi.
5.     Tunggu sampai tanda kotak biru dan gambar sinyal putih
6.     Nyambung deh....

Selamat mencoba ya! Ini buat Tab Samsung loh. Yang lainnya mudah-mudahan sama.

WAKTU DAN TEMPAT KAMI PERSILAHKAN

“Waktu dan tempat kami persilakan!”... kalimat tersebut terucap di acara Kick Andy Heroes di Metro TV, yang ditayangkan Sabtu, 1 Maret 2014. Sepintas memang ekspresi itu sering kita dengar. Yuk, kita rasakan bersama, logika bahasanya. Yang dipersilakan ke podium itu waktu dan tempatnya ataukah orangnya? Kalau yang diminta ke depan orangnya, lebih tepat “Waktu dan tempat kami berikan kepada Bapak....” atau “Bapak... dipersilakan naikke panggung." Apakah waktu dan tempat bisa jalan ke panggung? Tentu saja tidak bisa, kan? Jadi, yang sering diucapkan orang, kadang belum tentu benar. 

Catatan  1 Maret 2014 

DI SINI ATAU DISINI ?

Di pinggir jalan kita sering melihat sebuah papan kecil. Di papan itu ada tulisan ... bisa dibeli disini. Aduh... gatal deh rasanya. Pesan papan di mana itu ya? Pasti yang membuat papan juga tidak tahu kapan menulis di terpisah dan kapan disambung. Di sini harusnya ditulis terpisah. Kenapa? Di bila berfungsi sebagai kata depan penulisannya dipisah, seperti di sana, di pasar, di atas, di Gramedia, di Wonosobo, di kantor, dll. Kalau di- sebagai pasif memang ditulis disambung, seperti ditulis, dibaca, dibeli, dll. Kata-kata itu berasal dari kalimat aktif : menulis, membaca, membeli.

Cara yang paling mudah untuk membedakan di sebagai kata depan dan di- sebagai pasif adalah : bila di belakang di ada kata yang menyatakan tempat, di ditulis terpisah, sedangkan bila belakangnya ada kata kerja ditulis disambung.

KATA DEPAN                           PASIF
di sini                                       dijual
di depan                                   dipasang
di atas                                      diangkat
di pasar                                    dibelikan
di rumah sakit                           diperiksa

Diingat-ingat ya...  terus dipakai dengan benar ya... terus dibagikan ke teman-temanmu ya! Oke gampang, kan?

Sabtu, 31 Oktober 2015

YOKO, KAMU MATAHARIKU

    
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
 '"Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda motor di Jalan' #SafetyFirst 
diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com





Yoko terduduk di emperan toko. Lututnya tak bertenaga lagi untuk menopang tubuh mungilnya. Matanya tertutup rapat, nafasnya naik turun tak beraturan. Keringat dingin mengucur deras, membasahi mukanya yang bulat itu. Sepedanya tergeletak di sampingnya. Topi dan tasnya teronggok di dekat sepedanya.
“Maaf Mbak, Mbaknya enggak kenapa-kenapa?” tanya Herjuno hati-hati.
 “Ya…. ya…..maaf…maaf…” Yoko tergagap dan matanya yang besar terbuka pelan-pelan, dengan segera ia merapatkan kedua kakinya dan merapikan roknya….
“Maaf, Mbaknya tidak apa-apa? Muka Mbaknya pucat sekali. Perlu aku ambilkan minuman?”
“Oh maaf terima kasih, tidak usah repot-repot. Aku sudah membawa aqua.Yoko celingukan mencari tasnya. Herjuno tanggap dan segera mengambilkan tasnya. Yoko segera membuka tasnya dan mengambil aqua. Segera dia minum. Pandangannya kosong. Setelah ambulan pergi dan kerumunan orang-orang itu bubar, Yoko pelan-pelan berdiri, memakai topi lebarnya, dan berpamitan pada Herjuno. Sebetulnya Herjuno hendak mengantar, tetapi Yoko bilang bisa pulang sendiri. Yoko berkali-kali menundukkan badannya dan mengucapkan terima kasih.
Ketika Yoko mengenakan topinya, segera saja Herjuno mengeryitkan keningnya dan mengacak-acak rambutnya…. sepertinya dia pernah melihat perempuan ini sebelumnya, tapi di mana ya? Herjuno juga segera pulang.
*****
Udara serasa menyengat dan membuat sulur-sulur keringat di balik kaosnya. Karena itu, Herjuno tidak betah berlama-lama di rumah. Segera disambar alat pancing dan topinya. Ia kayuh sepedanya menuju ke Selokan Mataram. Nah gini nih, baru segar. Herjuno duduk manis di samping jembatan.
Sesaat lagi senja kan datang. Matahari kan beranjak pulang ke peraduan. Sinar temaramnya memantulkan tebaran kristal berkilauan di air yang tenang. Langit semburat lembayung dan ilalang berjajar, menari gemulai ditiup sang bayu, menambah keindahan senja. Senja memang membuat orang-orang terlena, terbius kedamaian, serasa surga di depan mata, karena Sang Pencipta terasa begitu dekat dan ada. Entah mengapa ia selalu ditakdirkan tuk jatuh cinta pada senja. Yah, begitulah senja, selalu menawarkan kehangatan dan cinta yang tulus, seperti cinta seorang ibu.  Ah… Herjuno jadi ingat ibunya yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan. Ibu terjatuh karena kaget, disalib terlalu dekat oleh seorang pekerja muda, dadanya terantuk stang motor.  Ah sudahlah… ibunya pasti sudah berbahagia di surga. Sekarang ayahnya mau menikah lagi, Herjuno tidak rela, ada wanita lain di hati bapaknya….
“Da…da…da… Mbak Yoko…. hati-hati ya, “ seru anak-anak mengagetkan Herjuno yang tengah melamun. Segera saja Herjuno mendongakkan kepalanya ke arah jembatan. Herjuno terpana…. bagai sebuah lukisan mahakarya terpampang nyata di depannya, sebuah siluet perempuan bertopi menuntun sepedanya di tengah bulatan matahari senja.... Oh indah sekali….Beberapa saat Herjuno terganga…. ada kehangatan yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
Ketika pancingnya bergerak-gerak Herjuno baru sadar. Oh iya aku ingat sekarang, ternyata perempuan yang pucat pasi di pinggir jalan dulu itu adalah yang perempuan bertopi yang baru saja lewat. Oh namanya Yoko, kayak nama Jepang, tetapi perempuan itu tidak sipit bahkan sebaliknya bermata besar. Saat ikan sudah berhasil dia lepaskan dari mata pancingnya, Yoko sudah menghilang dari pandangannya.
Malamnya Herjuno tidak bisa tidur. Beberapa kali dia membolak-balikkan badannya, tetap saja matanya tak mau diajak kompromi, di kepalanya terbayang selalu siluet Yoko. Akhirnya, selimut dia sibakkan, segera saja ke kamar mandi dan cuci muka. Diambilnya satu gayung air ke kamarnya. Dia bongkar cat aklirik, kuas, dan kanvasnya. Herjuno segera asyik membuat sketsa dan menyapukan cat akliriknya di kanvas. Ups… sudah jam tiga pagi. Herjuno kaget melihat jam dinding. Tapi Herjuno puas. Lukisan siluet Yoko sedang menuntun sepeda dengan matahari berpendar hangat di belakangnya sudah jadi. Herjuno segera merebahkan badannya dan tertidur pulas. Herjuno bahagia, senyum ibunya hadir di dalam mimpinya.
Sore berikutnya Herjuno, sengaja memancing lagi, tapi konsentrasinya tidak tertuju pada mata kailnya, sebentar-bentar matanya terarah ke jembatan. Sampai matahari tenggelam Yoko tak muncul juga. Dia bergegas pulang, dengan gontai dikayuhnya sepedanya. Sekelebat dia melihat anak sedang bersepeda juga.
Dik…Dik…sini!sambil melambaikan tangan Herjuno mendekati anak laki-laki yang berumur sepuluh tahunan itu.
Ya Mas, ada apa?
Kamu kenal enggak sama cewek yang sering bersepeda lewat jembatan ini dan bertopi?
Hem… kasih tahu gak ya?
Alah… gak usah pelit-pelit bagi info dong Dik!
Masnya suka ya sama dia?
Hus… emang kamu tahu isi hatiku?
Ya iyalah…. isi tahu ya wortel, kecambah, dan….
Duh… kamu berbakat jadi pelawak juga ya….
Ya iyalah Mas, kenalkan aku Andre Taulani.
Andre Taulani? Duh Dik…Dik…lihatnya dari mana? Lha wong gigimu ilang semua gitu….”
Duh, Masnya ini butuh info atau mau mengejek sih?
Iya… Iya… kamu mirip banget Andre Taulani deh.
Nah gitu dong, hem… namanya Mbak Yoko, dia itu guru bahasa Jepang kami.
Loh hari ini kok gak kelihatan?
Lha iya ngajarnya kan Rabu dan Jumat Mas, hari ini kan Kamis. Tuh, ngajarnya di sana, di pendapa rumah Pak Lurah.
Oh gitu ya, Oke deh, thank’s ya Dik Andre yang cuakep tenan. Tos dulu.” Herjuno mengayuh sepeda dengan semangat....
Esoknya Herjuno datang lagi ke Selokan Mataram. Ketika matahari akan menghilang, Herjuno segera mengemasi alat pancingnya dan menunggu di bawah pohon di seberang jalan. Begitu Yoko lewat, segera saja Herjuno menaiki sepedanya. Ketika berpapasan dengan Yoko, tiba-tiba sepedanya oleng dan Herjuno terjatuh. Mendengar suara gedubrak diikuti kata aduh…. otomatis Yoko menoleh, meminggirkan sepedanya, dan menolong Herjuno.
Maaf Mas, aku terlalu jalan ke kanan ya?
Oh tidak Mbak….Mata Herjuno bertatapan dengan mata Yoko…. Yoko segera tertunduk malu….mukanya memerah.
Loh, Mbaknya yang dulu itu terduduk di pinggir jalan dan mukanya pucat ya?” Kenalkan, namaku Herjuno Mbak.” serbu Herjuno tanpa menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Oh iya betul…. Loh Masnya yang menanyai aku dulu itu ya? Namaku Yoko, dari Jepang. Eh ngomong-ngomong ada yang sakit?
Oh tidak apa-apa kok, cuma kaget sedikit.
Kalau begitu permisi aku mau pulang dulu….”
“Ya silakan, Mbak!” jawab Herjuno riang, rencananya berkenalan dengan Yoko berhasil.
*****
“Loh kok ada di sini Mas?” tanya Yoko ketika melihat Herjuno ada di pendapa Pak Lurah.
“Iya Mbak, ini kan rumah saudaraku Mbak, kebetulan aku tadi aku lewat sini dan mampir.”
“Bohong Mbak Yoko…bohong itu Masnya, Masnya naksir sama Mbak Yoko, sahut Andre.
Naksir itu apa ya Andre, Mbak Yoko tidak tahu artinya?” tanya Yoko bingung.
Love Mbak….Love Mbak, kata Andre sambil jari-jari tangannya membentuk simbol cinta. Pipi Yoko langsung memerah….
Herjuno cepat-cepat mendekati Andre… Si Andre gesit berlari menghindar…. anak-anak bertepuk tangan riuh…. Begitu tertangkap, Herjuno langsung mengkitik-kitik ketiak Andre….
Kapok aku Mas…Kapok aku Mas….
Makanya gak boleh ngomong sembarangan, kasihan tuh Mbak Yoko jadi malu. Ayo bilang maaf sama Mbak Yoko.Herjuno segera pamit, takut mengganggu acara belajar bahasa Jepang yang hangat di sore itu. Sejak saat itu Herjuno semakin akrab dengan Yoko, bahkan beberapa kali memancing bersama. Saat Yoko ada di dekatnya, Herjuno merasa ada kehangatan dan kedamaian. Yoko gampang tertawa dan selalu berpikir positif sehingga bisa menjadi teman curhat yang menyenangkan.
Mas Herjuno… Mas Herjuno….” panggil Yoko berkali-kali membuyarkan lamunan Herjuno.
Eh eh… iya…. ada apa?
Pancingku bergerak-gerak….
Tarik pelan-pelan…. itu ada ikannya.
Wow ikannya besar, aku pintal ya.
Pintar….bukan pintal Mbak. Duh Mbak, er….er….gini loh lidahnya digetarkan…
“Iya pintar.  Tapi, kadang aku masih susah bedakan kapan R kapan L. Harus berpikir dulu. Kalau spontan suka salah. Dari tadi Mas Herjuno kok enggak banyak bicara, lebih suka diam?
Diam? Oh…. aku lagi bingung Mbak tapi juga jengkel….makanya aku tiap sore mancing di sini. Males di rumah Mbak…. Bapakku…Bapakku….mau nikah lagi, Mbak.
Ha... Bapakmu mau punya isteri dua?
Enggak Mbak, Ibuku udah meninggal tiga tahun lalu.
Oh maaf, maaf ya.” kata Yoko sungguh-sungguh. Dia tidak enak karena salah mengerti.
Gak pa pa. Aku hanya tidak senang ada wanita lain di hati bapakku, berarti bapakku tidak cinta dan setia lagi dengan ibuku. Ya meskipun yang akan dinikahi papakku itu adik ibuku yang belum pernah nikah. Itu pun dijodohkan sama nenekku. Bapakku dan bibiku awalnya juga tidak setuju, tetapi akhir-akhir ini bapakku sering melamun dan sakit-sakitan.
Hem… kamu tipe cowok yang setia juga ya.
Heh kamu tahu kata cowok juga ya?
Ya iyalah aku kan hampir dua tahun tinggal di Jogja. Menurutku ya tidak apa-apa bapakmu menikah dengan bibimu. Karena kupikir, cinta itu punya daya yang menghidupkan…. Orang yang kehilangan orang yang diicintai, seperti tanaman yang tidak terkena sinar matahari. Hidup tanpa kehangatan cinta kasih. Pelan-pelan akan mati juga.”
Ah, kamu menakut-nakuti aku. Tapi kamu puitis dan romantis juga ya. Kan ada aku, anak satu-satunya yang bisa memperhatikan bapakku. Nenek dan Bibiku kan tinggal di sebelah rumahku juga. Kalau ada apa-apa mereka bisa ketuk pintu, kapan pun itu.”
Kamu kan baru saja masuk kuliah, di kedokteran lagi, pasti akan sibuk. Terus kalau kamu lulus, apakah kamu akan bekerja di Jogja? Katamu, kamu mau merasakan kerja dan tinggal di luar Jawa bahkan di luar negeri sepertiku, ingin mengenal bahasa dan hidup dengan budaya yang berbeda. Terbang seperti burung merasakan senja di berbagai belahan dunia?  Kalau ada bibi di rumah, kan kamu bisa merealisasikan mimpi kamu. Bibi dan nenekmu juga akan senang.”
Hem… hem… iya juga sih…. Benar juga pendapatmu Yoko. Kenapa selama ini aku tidak berpikir seperti itu ya?  Terima kasih ya, kamu sudah membukakan mata hatiku. Aku egois ya selama ini? Aku sepertinya tidak mempedulikan  tanaman, seharusnya aku membantu tanaman mendapatkan kehangatan sinar matahari, supaya bisa tumbuh dengan subur. Ya aku ingin melihat bapakku berbahagia lagi.
Ya tidak apa-apa, bagus kalau kamu sudah terbuka dan mau mengerti. Oh iya Herjuno…. bulan depan aku akan pulang ke Jepang.
Oh  ya? Kenapa cepat sekali?
Kontrakku sebagai relawan sudah selesai. Terima kasih kamu sudah mau menjadi teman terbaikku, pasti suatu saat nanti aku akan kembali ke Indonesia. Aku merasa berbahagia sekali tinggal di Jogja, orangnya ramah-ramah dan baik hati. Aku menikmati tinggal di negeri yang indah ini, makanannya enak-enak dan orang tidak diburu-buru waktu. Aku pasti sangat merindukan Indonesia.
Eh, ngomong-ngomong dulu itu kamu pucat pasi kenapa?tanya Herjuno dengan tatapan heran.
Oh itu…. ah aku nggak mau bilang, lupakan saja…. Tapi, em…em…kalau kamu mau tahu, akan kuceritakan saja, supaya tidak menjadi beban juga buatku. Oh, peristiwa itu membuatku trauma. Setelah kejadian itu hampir satu bulan aku tidak berani lewat ringroad loh dan takut melihat ban truk. Em… em…aku….aku…. em… me…me… melihat seorang anak dengan seragam SMA diam di samping truk. Terus…. satu anak SMA lagi, mungkin temannya, lari-lari panik memukul-mukul kaca truk. Aku lihat sopir truk dan satu laki-laki di dalam truk terdiam, syock. Awalnya aku hanya melihat satu motor tergeletak di tengah jalan dan beberapa orang berlari mendekati truk. Aku sungguh-sunguh kaget dan tiba-tiba aku kehilangan tenaga. Makanya aku terduduk lemas di depan toko yang tutup. Aku benar-benar syock, kata Yoko mengakhiri pengakuannya yang disampaikan dengan sedih dan terbata-bata.
Ya kata orang-orang, anak SMA itu yang salah. Mereka mau menyeberang ringroad tapi tidak lihat kiri-kanan dulu, langsung menyeberang saja, padahal ada truk dari utara yang jaraknya sudah sangat dekat.  Ya menyedihkan sekali sih, tapi hidup ini kan juga pilihan. Kita bisa memilih untuk berhati-hati tapi selamat atau maunya cepat-cepat tapi nyawa kita juga cepat melayang. Apa sih susahnya menunggu dua menit saja, memberikan kesempatan kepada pengendara yang lain untuk lewat atau berhenti ketika lampu merah, hanya dua menit loh, bahkan bisa kurang. Tapi aku juga heran, banyak orang yang egois, mereka selalu pikir aku harus duluan, orang lain yang harus mengerti dan mengalah…. Lha kalau keluar gang atau menyeberang asal selonong saja. Itu namanya bikin kaget, ngawur, dan nekat. Lha iya kalau orang lain gesit dan tidak sedang melamun. Bisa saja kan ada orang yang baru saja bisa naik motor atau mobil, kalau panik kan mereka tidak bisa mengendalikan kendaraannya. Itu namanya mencelakai diri sendiri dan orang lain. Ada juga yang buka HP dan klak-klik atau sambil telepon, trus motornya oleng-oleng. Kalau memang penting, ya berhenti dulu di pinggir jalan,” papar Herjuno panjang lebar dan berapi-api penuh amarah.
Iya…iya….kok kamu kelihatan marah sekali? Tapi ngomong-ngomong ada beberapa kata yang aku belum tahu loh.” jawab Yoko dengan polos.
Ya iya marah dong, karena orang seperti itu maunya menang sendiri. Kalau mereka mau mematuhi aturan dan disiplin, bangsa ini pasti akan cepat maju.  Kemajuan kan butuh perubahan mental, mental lebih menghormati dan mengedepankan kepentinganya bersama. Oh iya kalau gitu kamu jangan pulang ke Jepang dulu…. belajar dulu bahasa Indonesia sama aku, “ tambah Herjuno.
Ya tidak bisa, aku sudah rindu orangtuaku, teman-temanku, dan makanan Jepang seperti mie ramen, nasi Jepang, mi sup, kari, dan banyak lagi, sahut Yoko.
Malamnya Herjuno tidak bisa tidur lagi…. Hem… gimana ya…. mengungkapkan rasa cintanya… kayaknya Yoko suka aku enggak ya?  Tapi dulu ketika Andre bilang aku naksir dia, mukanya memerah. Dipandangi lukisan siluet Yoko yang tergantung di tembok…. Yoko… Yoko…kamu itu memang seperti matahari. Jauh-jauh datang dari Jepang dan menjadi relawan di Indonesia, bekerja sebagai tenaga dan trainer fisioterapi dan sorenya menjadi guru bahasa Jepang.  Sungguh hidupmu bagai matahari yang tulus membagikan sinarmu. Akhirnya, Herjuno tersenyum-senyum… di kepalanya dipenuhi banyak ide…. sepuluh menit kemudian Herjuno sudah tertidur….Herjuno bahagia,  senyum ibunya hadir dalam mimpinya.
Malam minggu Herjuno mengetuk pintu pavilyun Yoko…. Herjuno terlihat lebih tampan dengan baju putih, dipadu dengan celana jeans biru dan sepatu kets merah. Lengan panjangnya dilipat tiga perempat. Di tangannya ada sesuatu yang dibungkus kertas kado dan diberi pita.Yoko terkejut saat membuka pintu karena Harjuno tampil rapi dan wangi. Setelah menyilahkan Herjuno duduk, Yoko keluar dengan dua gelas minuman dan dua mangkuk kari Jepang.
Ayo diminum dan silakan coba kari Jepang!” kata Yoko sedikit malu-malu.
Ya terima kasih Yoko. Oh ini kari Jepang, seperti bubur tapi kuning? Di dalamnya ada apa?
Oh itu, ada kentang, wortel, dan udang. Enak loh kalau dimakan panas-panas, imbuh Yoko.
Ya… aku minum dulu ya, panas sekali, karinya nanti saja….”
“Ha panas? Aku rasa tidak panas, kan ada AC di sini,sanggah Yoko heran bercampur heran.
Oh iya ya…. hem… anu….anu…. Yoko,” sahut Herjuno yang tiba-tiba dihinggapi rasa grogi amat sangat di depan Yoko yang malam ini terlihat lebih cantik dengan baju batik merah muda.
Anu….itu apa?” tanya Yoko yang semakin bingung dengan Herjuno yang biasanya banyak bicara.
Oh maaf tidak ada artinya, tiba-tiba saja lidahku sulit digerakkan… Hem…. oh iya, ini aku bawa sesuatu untuk kamu… ya anggap saja kenang-kenangan, untuk diingat kalau kamu sudah pulang ke Jepang,kata Herjuno yang masih setengah grogi.
Setelah mengucapkan terima kasih, Yoko membuka bungkus kado pelan-pelan. Dia tersenyum, melihat lukisan siluet perempuan bertopi sedang menuntun sepeda, di belakangnya matahari kuning temaram, dan langit semburat lembayung, Ada tulisan “Yoko, Kamu Matahariku” di bagian bawah lukisan.
Bagus sekali…. Ini kamu yang melukis? Ini siapa Hel…. Eh Her? Kok milip eh mirip aku ya? Loh kok kamu tahu arti namaku? Yoko itu artinya matahari di dalam bahasa Jepang, imbuh Yoko.
Oh itu baru aku tahu, sungguh…Kok bisa ya? Pasti bukan kebetulan karena di dunia ini, daun yang jatuh pun Tuhan pasti tahu. Hem… titik-titik menjadi garis ya. Pas banget, ah indah sekali,” seru Herjuno senang.
Apa maksudnya?  tanya Yoko, semakin penasaran dengan kata-kata Herjuno.
Tiba-tiba Herjuno bersimpuh di depan Yoko dan tangan Yoko digenggamnya. Yoko kaget. 
Yoko, maukah kamu jadi matahariku. Hem… maksudku jadi pacarku? Kamu telah mengajariku untuk melihat segala sesuatunya dengan kacamata yang bening, hingga hidup ini terasa lebih berwarna. Juga tentang berbagi kasih, ternyata indah ya,” ungkap Herjuno penuh perasaan.
Kamu memang teman terbaikku, tapi em… em…,” kata Yoko mengantung, karena ada yang mau disampaikan tapi dia ragu-ragu melihat ketulusan dan harapan besar di mata Herjuno.
Kok teman sih? Oke, kalau kamu belum bisa jawab sekarang tidak apa-apa, aku tunggu…maaf, mungkin kamu kaget dengan ungkapan cintaku, tapi lebih baik kusampaikan daripada menyesal seumur hidup,” tambah Herjuno. Herjuno kembali ke kursinya dan menghabiskan karinya.
Tiba-tiba Yoko berdiri, Herjuno menoleh dan melihat ada laki-laki Jepang tersenyum, berdiri di depan pintu. ”Kenalkan ini pacarku, Yusuke. Dia yang membawakan aku kari ini. Enak, kan karinya?” tanya Yoko yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya juga.
I ya, e… e… enak sekali. Yusuke membungkukkan badan dan bersalaman dengan Herjuno.
Herjuno terkejut sekali tetapi  dia harus terlihat tenang dan tegar…. Dia segera pamit, hatinya kacau balau. Malam minggu yang dia bayangkan bakal romantis ternyata berakhir dengan tragis.
Sampai di kamar, dia hempaskan tubuhnya di kasur…. hanya kegelapan yang dirasakan… tak ada lagi kehangatan, matahari telah tenggelam dalam hatinya. Ingin rasanya menangis, hatinya teriris-iris. Dia menyesal kenapa menyatakan cinta kepada Yoko dan yakin sekali Yoko belum punya pacar.
Yoko mengirim WA, dengan cepat-cepat Herjuno membukanya.
Maaf sekali Herjuno, aku pikir selama ini pertemanan kita tulus, ternyata kamu suka kepadaku. Aku lebih cocok menjadi kakak kamu. Kalau tidak percaya silakan lihat foto kartu identitasku yang kukirimkan, aku tujuh tahun di atasmu, kan? Kamu lebih cocok jadi adik laki-lakiku.
Iya Kakak, tetapi kenapa muka kamu kelihatan muda?” goda Herjuno yang mulai bisa menerima kenyataan.
Ya mungkin badanku kecil ya, jadi orang pikir aku muda ya. Kamu tidak apa-apa kan? Aku akan tetap menjadi mataharimu yang selalu memberi cinta…. tapi cinta seorang kakak. Aku rasa cinta seorang kakak lebih abadi dan tulus. Bukan begitu Herjuno? Aku tunggu kamu di Fukuoka. Di sana, senja juga sehangat di sini. Kamu akan tetap keliling Indonesia dan dunia, kan? balas Yoko.
Ya tentu saja Kakak, terima kasih banyak sudah mau menjadi teman dan kakakku.
Ya adikku, besok pagi-pagi aku akan terbang ke Lombok. Da….da…da.”
Herjuno tak lagi sesedih tadi. Yoko pasti akan tetap memancarkan kehangatan dan cinta, tetapi di belahan dunia yang berbeda. Dia bertekat akan menjadi guru lukis untuk anak-anak di desanya, menggantikan sosok Yoko. Nanti kalau menjadi dokter, dengan senang hati aku akan bekerja di  daerah pelosok Indonesia. “Masak aku kalah semangat dengan relawan Jepang dan juga dari negera lain? Siapa lagi kalau bukan anak negeri yang membangun Indonesia tercinta ini. Kan kuberikan hatiku untuk kemajuan pertiwi. Selamat jalan Yoko, kamu tetap matahariku.”