Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen
'"Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda motor di Jalan' #SafetyFirst
diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
Yoko terduduk di emperan toko. Lututnya tak bertenaga lagi untuk menopang
tubuh mungilnya. Matanya tertutup rapat, nafasnya naik turun tak beraturan.
Keringat dingin mengucur deras, membasahi mukanya yang bulat itu. Sepedanya tergeletak
di sampingnya. Topi dan tasnya teronggok di dekat sepedanya.
“Maaf Mbak, Mbaknya enggak kenapa-kenapa?” tanya Herjuno hati-hati.
“Ya…. ya…..maaf…maaf…” Yoko
tergagap dan matanya yang
besar terbuka
pelan-pelan, dengan segera ia merapatkan kedua kakinya dan merapikan roknya….
“Maaf, Mbaknya tidak apa-apa? Muka Mbaknya pucat sekali. Perlu aku ambilkan
minuman?”
“Oh maaf terima kasih, tidak usah repot-repot. Aku sudah membawa aqua.” Yoko
celingukan mencari tasnya. Herjuno tanggap dan segera mengambilkan tasnya. Yoko
segera membuka tasnya dan mengambil aqua. Segera dia minum. Pandangannya
kosong. Setelah ambulan pergi dan kerumunan orang-orang itu bubar, Yoko
pelan-pelan berdiri, memakai topi lebarnya, dan berpamitan pada Herjuno.
Sebetulnya Herjuno hendak mengantar, tetapi Yoko bilang bisa pulang sendiri. Yoko
berkali-kali menundukkan badannya dan mengucapkan terima kasih.
Ketika Yoko mengenakan topinya, segera saja Herjuno mengeryitkan keningnya
dan mengacak-acak rambutnya…. sepertinya dia pernah melihat perempuan ini
sebelumnya, tapi di mana ya?
Herjuno juga segera
pulang.
*****
Udara serasa menyengat dan membuat sulur-sulur
keringat di balik kaosnya. Karena itu,
Herjuno tidak betah berlama-lama di rumah. Segera disambar alat pancing dan
topinya. Ia kayuh sepedanya menuju ke Selokan Mataram. “Nah gini nih, baru segar.” Herjuno
duduk manis di samping jembatan.
Sesaat lagi senja kan
datang. Matahari kan beranjak pulang ke peraduan. Sinar temaramnya memantulkan
tebaran kristal berkilauan di air yang tenang. Langit semburat lembayung dan
ilalang berjajar, menari gemulai ditiup sang bayu, menambah keindahan senja. Senja
memang membuat orang-orang terlena, terbius kedamaian, serasa surga di depan
mata, karena Sang Pencipta terasa begitu dekat dan ada. Entah mengapa ia selalu
ditakdirkan tuk jatuh cinta pada senja. Yah, begitulah senja, selalu menawarkan
kehangatan dan cinta yang tulus, seperti cinta seorang ibu. Ah… Herjuno jadi
ingat ibunya yang meninggal tiga tahun lalu karena kecelakaan. Ibu terjatuh
karena kaget,
disalib terlalu dekat oleh seorang pekerja muda, dadanya terantuk stang
motor. Ah sudahlah… ibunya pasti sudah
berbahagia di surga. Sekarang ayahnya mau menikah lagi, Herjuno tidak rela, ada
wanita lain di hati bapaknya….
“Da…da…da… Mbak Yoko…. hati-hati ya, “ seru anak-anak mengagetkan Herjuno
yang tengah melamun. Segera saja Herjuno mendongakkan kepalanya ke arah
jembatan. Herjuno terpana…. bagai sebuah lukisan mahakarya terpampang nyata di
depannya, sebuah siluet perempuan bertopi menuntun sepedanya di tengah bulatan
matahari senja.... Oh indah sekali….Beberapa saat Herjuno terganga…. ada
kehangatan yang tiba-tiba menyeruak di dadanya.
Ketika pancingnya bergerak-gerak Herjuno baru sadar. Oh iya aku ingat sekarang, ternyata perempuan yang pucat pasi di pinggir jalan
dulu itu adalah yang perempuan bertopi yang
baru saja lewat. Oh namanya Yoko, kayak nama Jepang, tetapi perempuan itu
tidak sipit bahkan sebaliknya bermata besar. Saat ikan sudah berhasil dia
lepaskan dari mata pancingnya, Yoko sudah menghilang dari pandangannya.
Malamnya Herjuno tidak bisa tidur. Beberapa kali dia membolak-balikkan
badannya, tetap saja matanya tak mau diajak kompromi, di kepalanya terbayang
selalu siluet Yoko. Akhirnya, selimut dia sibakkan, segera saja ke kamar mandi
dan cuci muka. Diambilnya satu gayung air ke kamarnya. Dia bongkar cat aklirik,
kuas, dan kanvasnya. Herjuno segera asyik membuat sketsa dan menyapukan cat
akliriknya di kanvas. Ups… sudah
jam tiga pagi. Herjuno kaget melihat jam dinding. Tapi Herjuno puas.
Lukisan siluet Yoko sedang menuntun sepeda dengan matahari berpendar hangat di
belakangnya sudah jadi. Herjuno segera merebahkan badannya dan tertidur pulas. Herjuno
bahagia, senyum
ibunya hadir di
dalam mimpinya.
Sore berikutnya Herjuno, sengaja memancing lagi, tapi konsentrasinya tidak
tertuju pada mata kailnya, sebentar-bentar matanya terarah ke jembatan. Sampai
matahari tenggelam Yoko tak muncul juga. Dia bergegas pulang, dengan
gontai dikayuhnya sepedanya. Sekelebat dia melihat anak sedang bersepeda juga.
“Dik…Dik…sini!” sambil
melambaikan tangan Herjuno mendekati anak laki-laki yang berumur sepuluh
tahunan itu.
“Ya
Mas, ada apa?”
“Kamu
kenal enggak sama cewek yang sering bersepeda lewat jembatan ini dan bertopi?”
“Hem…
kasih tahu gak ya?”
“Alah… gak usah
pelit-pelit bagi info dong Dik!”
“Masnya
suka ya sama dia?”
“Hus…
emang kamu tahu isi hatiku?”
“Ya
iyalah…. isi tahu ya wortel, kecambah, dan….”
“Duh…
kamu berbakat jadi pelawak juga ya….”
“Ya
iyalah Mas, kenalkan aku Andre Taulani.”
“Andre
Taulani? Duh Dik…Dik…lihatnya
dari mana? Lha wong gigimu ilang semua gitu….”
“Duh,
Masnya ini butuh info atau mau mengejek
sih?”
“Iya…
Iya… kamu mirip banget Andre Taulani deh.”
“Nah
gitu dong, hem… namanya Mbak Yoko, dia itu guru bahasa Jepang kami.”
“Loh
hari ini kok gak kelihatan?”
“Lha
iya ngajarnya kan Rabu dan Jumat
Mas, hari ini kan Kamis. Tuh, ngajarnya di sana, di pendapa
rumah Pak Lurah.”
“Oh
gitu ya, Oke deh, thank’s ya Dik Andre yang cuakep tenan. Tos dulu.” Herjuno mengayuh
sepeda dengan semangat....
Esoknya Herjuno datang lagi ke Selokan Mataram. Ketika matahari akan
menghilang, Herjuno segera mengemasi alat pancingnya dan menunggu di bawah
pohon di seberang jalan. Begitu Yoko lewat, segera saja Herjuno menaiki
sepedanya. Ketika berpapasan dengan Yoko, tiba-tiba sepedanya oleng dan
Herjuno terjatuh. Mendengar suara gedubrak diikuti kata aduh…. otomatis Yoko
menoleh, meminggirkan sepedanya, dan
menolong Herjuno.
“Maaf
Mas, aku terlalu jalan ke kanan ya?”
“Oh
tidak Mbak….” Mata
Herjuno bertatapan dengan mata Yoko…. Yoko segera tertunduk malu….mukanya memerah.
“Loh,
Mbaknya yang dulu itu terduduk
di pinggir jalan dan mukanya pucat ya?”
Kenalkan, namaku Herjuno Mbak.” serbu Herjuno tanpa menyia-nyiakan kesempatan
baik itu.
“Oh
iya betul…. Loh
Masnya yang menanyai aku dulu
itu ya?
Namaku Yoko, dari Jepang. Eh ngomong-ngomong ada yang sakit?”
“Oh
tidak apa-apa kok, cuma kaget
sedikit.”
“Kalau
begitu permisi aku mau pulang dulu….”
“Ya
silakan, Mbak!”
jawab Herjuno riang, rencananya berkenalan dengan Yoko berhasil.
*****
“Loh kok ada di sini
Mas?” tanya Yoko ketika melihat Herjuno ada di pendapa Pak
Lurah.
“Iya Mbak, ini kan rumah saudaraku Mbak, kebetulan aku tadi aku lewat sini
dan mampir.”
“Bohong Mbak Yoko…bohong itu Masnya, Masnya naksir sama Mbak Yoko,” sahut
Andre.
“Naksir
itu apa
ya Andre, Mbak Yoko
tidak tahu artinya?”
tanya Yoko bingung.
“Love
Mbak….Love Mbak,” kata Andre sambil jari-jari tangannya membentuk simbol cinta. Pipi Yoko
langsung memerah….
Herjuno cepat-cepat mendekati Andre… Si Andre gesit berlari menghindar….
anak-anak bertepuk tangan riuh…. Begitu tertangkap, Herjuno langsung
mengkitik-kitik ketiak Andre….
“Kapok
aku Mas…Kapok aku Mas….”
“Makanya
gak boleh ngomong sembarangan, kasihan tuh Mbak Yoko jadi malu. Ayo bilang maaf
sama Mbak Yoko.” Herjuno
segera pamit, takut mengganggu acara belajar bahasa Jepang yang hangat di sore
itu. Sejak
saat itu Herjuno semakin akrab dengan Yoko, bahkan beberapa kali memancing bersama. Saat Yoko
ada di dekatnya, Herjuno merasa ada kehangatan
dan kedamaian. Yoko gampang tertawa dan selalu berpikir positif sehingga bisa menjadi
teman curhat yang menyenangkan.
“Mas
Herjuno… Mas Herjuno….”
panggil Yoko berkali-kali membuyarkan lamunan Herjuno.
“Eh eh… iya…. ada
apa?”
“Pancingku
bergerak-gerak….”
“Tarik
pelan-pelan…. itu ada ikannya.”
“Wow
ikannya besar, aku pintal ya.”
“Pintar….bukan
pintal Mbak.
Duh Mbak,
er….er….gini loh lidahnya digetarkan…”
“Iya pintar. Tapi,
kadang aku masih
susah bedakan kapan
R kapan L. Harus berpikir dulu. Kalau spontan suka salah. Dari tadi Mas Herjuno kok enggak banyak bicara, lebih suka
diam?”
“Diam?
Oh…. aku lagi bingung
Mbak tapi juga jengkel….makanya aku tiap sore mancing di sini. Males di rumah
Mbak…. Bapakku…Bapakku….mau nikah lagi, Mbak.”
“Ha...
Bapakmu mau punya
isteri dua?”
“Enggak
Mbak, Ibuku udah meninggal tiga tahun lalu.”
“Oh
maaf, maaf ya.” kata
Yoko sungguh-sungguh. Dia tidak enak karena salah mengerti.
“Gak
pa pa. Aku hanya tidak
senang ada wanita lain di hati bapakku, berarti bapakku tidak cinta dan setia
lagi dengan ibuku. Ya meskipun
yang akan dinikahi papakku itu adik ibuku yang belum pernah nikah. Itu pun
dijodohkan sama nenekku. Bapakku dan bibiku awalnya juga tidak
setuju, tetapi akhir-akhir
ini bapakku sering
melamun dan sakit-sakitan.”
“Hem…
kamu tipe cowok yang setia juga ya.”
“Heh
kamu tahu kata cowok juga ya?”
“Ya
iyalah aku kan hampir dua tahun tinggal di Jogja. Menurutku ya tidak apa-apa bapakmu
menikah
dengan bibimu. Karena kupikir, cinta itu punya daya yang menghidupkan…. Orang
yang kehilangan
orang yang diicintai, seperti tanaman yang tidak terkena sinar matahari. Hidup
tanpa kehangatan cinta kasih. Pelan-pelan akan mati juga.”
“Ah,
kamu menakut-nakuti aku. Tapi
kamu puitis dan romantis juga ya. Kan ada aku,
anak satu-satunya yang bisa memperhatikan bapakku. Nenek dan
Bibiku kan tinggal di sebelah rumahku
juga. Kalau
ada apa-apa mereka bisa ketuk pintu, kapan pun itu.”
“Kamu
kan baru saja masuk kuliah,
di kedokteran lagi, pasti akan
sibuk. Terus kalau kamu lulus, apakah kamu akan bekerja di Jogja? Katamu,
kamu mau merasakan
kerja dan tinggal di luar Jawa
bahkan di luar negeri sepertiku,
ingin mengenal bahasa dan hidup dengan budaya yang berbeda. Terbang seperti
burung merasakan senja di berbagai belahan dunia? Kalau ada bibi di rumah, kan kamu bisa
merealisasikan mimpi kamu.
Bibi dan nenekmu
juga akan senang.”
“Hem…
hem… iya juga sih…. Benar juga pendapatmu
Yoko. Kenapa selama ini aku tidak berpikir seperti itu ya? Terima kasih ya, kamu sudah membukakan mata hatiku. Aku
egois ya selama ini? Aku sepertinya tidak mempedulikan tanaman, seharusnya
aku membantu tanaman mendapatkan kehangatan
sinar matahari,
supaya bisa tumbuh dengan subur. Ya aku ingin melihat bapakku berbahagia
lagi.”
“Ya
tidak apa-apa, bagus kalau kamu sudah terbuka dan mau mengerti. Oh iya Herjuno….
bulan depan aku akan pulang ke Jepang.”
“Oh ya? Kenapa cepat sekali?”
Kontrakku sebagai relawan sudah selesai. Terima kasih kamu sudah mau
menjadi teman terbaikku,
pasti suatu saat nanti aku akan kembali ke Indonesia. Aku merasa berbahagia sekali tinggal di
Jogja, orangnya ramah-ramah dan baik hati. Aku menikmati tinggal di negeri yang indah ini,
makanannya enak-enak dan orang tidak diburu-buru waktu. Aku pasti sangat
merindukan Indonesia.
“Eh,
ngomong-ngomong dulu itu kamu pucat pasi kenapa?” tanya Herjuno dengan tatapan heran.”
“Oh
itu…. ah aku nggak mau bilang, lupakan saja…. Tapi, em…em…kalau kamu mau tahu, akan kuceritakan
saja, supaya tidak menjadi beban juga buatku. Oh, peristiwa itu
membuatku trauma. Setelah kejadian
itu hampir satu bulan aku tidak berani lewat ringroad loh dan takut melihat ban truk. Em…
em…aku….aku…. em… me…me…
melihat seorang anak
dengan seragam SMA diam
di samping truk. Terus…. satu anak SMA lagi, mungkin temannya, lari-lari
panik memukul-mukul kaca truk. Aku lihat sopir truk dan satu laki-laki di dalam
truk terdiam, syock. Awalnya aku hanya melihat satu motor tergeletak di tengah
jalan dan beberapa orang berlari mendekati truk. Aku sungguh-sunguh kaget dan
tiba-tiba aku kehilangan tenaga. Makanya aku terduduk lemas di depan toko yang tutup. Aku benar-benar
syock,”
kata Yoko mengakhiri pengakuannya yang disampaikan dengan sedih dan
terbata-bata.
“Ya
kata orang-orang,
anak SMA itu yang salah. Mereka mau menyeberang ringroad tapi tidak lihat
kiri-kanan dulu,
langsung menyeberang saja, padahal ada truk dari utara yang jaraknya sudah sangat dekat. Ya menyedihkan sekali sih, tapi hidup ini kan
juga pilihan. Kita bisa memilih untuk berhati-hati tapi selamat atau maunya cepat-cepat
tapi nyawa kita juga
cepat melayang. Apa sih susahnya menunggu dua menit saja, memberikan
kesempatan kepada pengendara
yang lain untuk lewat atau berhenti ketika lampu merah, hanya dua menit loh,
bahkan bisa kurang. Tapi aku juga heran, banyak orang yang egois, mereka
selalu pikir aku harus
duluan, orang lain yang harus mengerti dan mengalah….
Lha kalau keluar gang atau menyeberang asal selonong saja. Itu namanya bikin kaget, ngawur, dan nekat.
Lha iya kalau orang lain gesit dan tidak sedang melamun. Bisa saja kan ada
orang yang baru saja bisa naik motor atau mobil, kalau panik kan mereka tidak
bisa mengendalikan kendaraannya. Itu namanya mencelakai diri sendiri dan orang
lain. Ada juga yang buka HP dan klak-klik atau sambil telepon, trus motornya
oleng-oleng. Kalau memang penting, ya berhenti dulu di pinggir jalan,” papar Herjuno
panjang lebar dan
berapi-api penuh amarah.
“Iya…iya….kok
kamu kelihatan marah sekali? Tapi ngomong-ngomong ada beberapa kata yang aku
belum tahu loh.” jawab Yoko dengan polos.
“Ya
iya marah dong,
karena orang seperti
itu maunya menang sendiri. Kalau mereka mau
mematuhi
aturan dan disiplin, bangsa ini pasti
akan cepat maju. Kemajuan kan butuh perubahan
mental, mental lebih menghormati dan mengedepankan kepentinganya bersama. Oh iya kalau gitu
kamu jangan pulang ke Jepang dulu…. belajar dulu bahasa Indonesia sama aku, “ tambah Herjuno.
“Ya
tidak bisa, aku sudah rindu orangtuaku,
teman-temanku, dan makanan Jepang seperti mie ramen, nasi Jepang, mi sup,
kari, dan banyak lagi,”
sahut Yoko.
Malamnya Herjuno tidak bisa tidur lagi…. Hem… gimana ya…. mengungkapkan
rasa cintanya… kayaknya Yoko suka aku enggak ya? Tapi dulu ketika Andre bilang aku naksir dia,
mukanya memerah. Dipandangi lukisan siluet Yoko yang tergantung di tembok…. Yoko…
Yoko…kamu itu memang
seperti matahari. Jauh-jauh
datang dari Jepang dan menjadi relawan di Indonesia, bekerja sebagai tenaga dan
trainer fisioterapi dan sorenya menjadi guru bahasa Jepang. Sungguh hidupmu bagai matahari yang tulus
membagikan sinarmu. Akhirnya,
Herjuno tersenyum-senyum… di kepalanya dipenuhi banyak ide…. sepuluh menit
kemudian Herjuno sudah tertidur….Herjuno bahagia, senyum ibunya hadir dalam mimpinya.
Malam minggu Herjuno mengetuk pintu pavilyun Yoko…. Herjuno terlihat lebih
tampan dengan baju putih, dipadu dengan celana jeans biru dan sepatu kets
merah. Lengan panjangnya dilipat tiga perempat. Di tangannya ada sesuatu yang dibungkus kertas kado dan
diberi pita.Yoko terkejut
saat membuka pintu karena Harjuno tampil rapi dan wangi.
Setelah menyilahkan Herjuno duduk, Yoko keluar dengan
dua gelas minuman dan dua mangkuk kari Jepang.
“Ayo
diminum dan silakan coba kari Jepang!”
kata Yoko sedikit malu-malu.
“Ya
terima kasih Yoko. Oh ini kari Jepang,
seperti bubur tapi kuning? Di dalamnya ada apa?”
“Oh
itu, ada kentang, wortel, dan udang. Enak loh kalau dimakan panas-panas,” imbuh Yoko.
“Ya…
aku minum dulu ya, panas sekali, karinya nanti saja….”
“Ha panas?
Aku rasa tidak panas, kan ada AC di sini,”
sanggah Yoko
heran bercampur heran.
“Oh
iya ya…. hem… anu….anu…. Yoko,”
sahut Herjuno yang tiba-tiba dihinggapi rasa grogi amat sangat di depan Yoko
yang malam ini terlihat lebih cantik dengan baju batik merah muda.
“Anu….itu
apa?” tanya Yoko
yang semakin bingung dengan Herjuno yang biasanya banyak bicara.
“Oh
maaf tidak ada artinya, tiba-tiba saja lidahku sulit digerakkan… Hem…. oh iya,
ini aku bawa sesuatu untuk kamu… ya anggap saja kenang-kenangan, untuk diingat
kalau kamu sudah
pulang ke Jepang,” kata
Herjuno yang masih setengah grogi.
Setelah mengucapkan
terima kasih, Yoko membuka bungkus kado pelan-pelan. Dia tersenyum,
melihat lukisan siluet perempuan bertopi sedang menuntun sepeda, di belakangnya
matahari kuning temaram, dan langit semburat lembayung, Ada tulisan “Yoko, Kamu Matahariku” di bagian bawah lukisan.
“Bagus
sekali…. Ini kamu
yang melukis? Ini siapa Hel….
Eh Her? Kok milip eh
mirip aku ya? Loh kok kamu tahu arti namaku? Yoko itu artinya matahari di
dalam bahasa Jepang,”
imbuh Yoko.
“Oh
itu baru aku tahu,
sungguh…Kok bisa ya? Pasti bukan kebetulan karena di dunia ini, daun yang
jatuh pun Tuhan pasti tahu. Hem… titik-titik menjadi garis ya. Pas banget, ah
indah sekali,” seru Herjuno senang.
“Apa
maksudnya?” tanya Yoko, semakin penasaran dengan
kata-kata Herjuno.
Tiba-tiba Herjuno bersimpuh di depan Yoko dan tangan Yoko digenggamnya. Yoko
kaget.
“Yoko,
maukah kamu jadi matahariku. Hem… maksudku jadi pacarku?
Kamu telah mengajariku untuk melihat segala sesuatunya dengan kacamata yang bening, hingga
hidup ini terasa lebih berwarna. Juga tentang berbagi kasih, ternyata indah ya,”
ungkap Herjuno penuh perasaan.
“Kamu
memang teman terbaikku, tapi
em… em…,” kata Yoko mengantung, karena ada yang mau disampaikan
tapi dia ragu-ragu melihat ketulusan
dan harapan besar di mata Herjuno.
“Kok
teman sih? Oke, kalau
kamu belum bisa jawab sekarang tidak apa-apa, aku tunggu…maaf, mungkin kamu
kaget dengan ungkapan cintaku, tapi lebih baik kusampaikan daripada menyesal seumur hidup,”
tambah Herjuno. Herjuno kembali ke kursinya dan menghabiskan karinya.
Tiba-tiba Yoko berdiri, Herjuno menoleh dan melihat ada laki-laki
Jepang tersenyum,
berdiri di depan pintu….
”Kenalkan ini pacarku, Yusuke. Dia yang membawakan aku kari ini. Enak, kan karinya?” tanya Yoko yang tidak bisa
menyembunyikan rasa kagetnya juga.
“I ya, e… e…
enak sekali. Yusuke membungkukkan badan dan bersalaman dengan Herjuno.
Herjuno terkejut sekali tetapi dia
harus terlihat tenang
dan tegar…. Dia segera pamit, hatinya kacau balau. Malam
minggu yang dia bayangkan bakal romantis ternyata berakhir dengan tragis.
Sampai di kamar, dia hempaskan tubuhnya di kasur…. hanya kegelapan yang
dirasakan… tak ada lagi kehangatan, matahari
telah tenggelam dalam hatinya. Ingin rasanya menangis, hatinya teriris-iris. Dia
menyesal kenapa menyatakan cinta kepada Yoko dan yakin sekali Yoko belum punya pacar.
Yoko mengirim WA, dengan
cepat-cepat Herjuno membukanya.
“Maaf
sekali Herjuno, aku pikir selama ini pertemanan kita tulus, ternyata kamu suka
kepadaku. Aku lebih cocok menjadi kakak kamu. Kalau tidak percaya silakan lihat
foto kartu
identitasku yang
kukirimkan, aku tujuh tahun di atasmu, kan? Kamu lebih cocok jadi
adik laki-lakiku.”
“Iya
Kakak, tetapi kenapa muka kamu kelihatan muda?” goda Herjuno yang mulai bisa menerima kenyataan.
“Ya
mungkin badanku kecil ya, jadi orang pikir aku muda ya. Kamu tidak apa-apa kan?
Aku akan tetap menjadi
mataharimu yang selalu memberi cinta…. tapi cinta seorang kakak. Aku rasa cinta
seorang kakak lebih abadi dan tulus. Bukan begitu Herjuno? Aku tunggu kamu di Fukuoka.
Di sana, senja juga
sehangat di sini. Kamu akan tetap keliling Indonesia dan dunia, kan?” balas Yoko.
“Ya
tentu saja Kakak, terima kasih banyak sudah mau menjadi teman dan kakakku.”
“Ya
adikku, besok pagi-pagi aku akan terbang ke Lombok. Da….da…da.”
Herjuno tak lagi sesedih
tadi. Yoko pasti akan tetap memancarkan kehangatan dan cinta, tetapi di belahan
dunia yang berbeda. Dia bertekat akan menjadi guru lukis untuk anak-anak di
desanya, menggantikan sosok Yoko. Nanti kalau menjadi dokter, dengan senang
hati aku akan bekerja di daerah pelosok Indonesia.
“Masak aku kalah semangat dengan relawan Jepang dan juga dari negera lain? Siapa
lagi kalau bukan anak negeri yang membangun Indonesia tercinta ini. Kan kuberikan
hatiku untuk kemajuan pertiwi. Selamat jalan Yoko, kamu tetap matahariku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar