Minggu, 06 September 2015

TIDAK BISA MENDENGAR BUKAN BERARTI TIDAK BISA BERBICARA


Saat aku membaca Kisah Pin Sudiraharti di Sosok Kompas hari ini Senin, 6 Oktober 2014, yang berjudul “Menggetarkan Pita Suara untuk Meraih Mimpi”, kejadian tahun 1982-1985 kembali menari-nari dalam ingatanku lagi. Saat itu aku masih menjadi remaja imut-imut yang duduk di bangku SMP Bhakti Mulia Wonosobo.Kok mirip ya dengan nama SLB Prima Bhakti Mulya Cimahi yang didirikan Ibu Pin. Beliau ternyata pernah juga menjadi pengajar selama 5 tahun di SLB Don Bosco Wonosobo.

Aku jadi ingat Wilma dan Liliana, aaah….yang dua teman lainnya kok aku lupa tapi aku masih ingat wajah dan senyum mereka semua… Kayaknya Susi deh dan satu lagi kakak kelas yang rumahnya dekat RSJ Magelang. Hayo ada yang mau bantu aku? Maklum banget karena kenangan itu udah hampir 30 tahun lewat. Wilma, gadis hitam manis, berambut keriting, berasal dari Jakarta. Nah, Liliana ini dari Batang. Orangnya agak gemuk, kelihatannya suka makan. Hi…Hi… Waktu kelas 1 C, aku enggak sekelas dengan mereka. Nah pas naik kelas 2 B, aku sekelas dengan Liliana, bahkan sebangku. Entah kenapa ya, apa karena guru yang mengatur atau kami pilih sendiri.

Nah, apa hubungan antara Ibu Pin dengan Liliana dan Wilma….Liliana dan Wilma adalah teman yang sangat spesial. Mereka adalah murid-murid dari SLB B Dena Upakara Wonosobo yang punya kesempatan belajar di sekolah umum.Mereka tuna rungu tapi tetap semangat menjalani hidup. Awalnya mungkin mereka malu dan takut. Parahnya lagi kami yang masih ingusan itu suka menggoda mereka dengan kata-kata Jawa, yang membuat mereka ditertawakan banyak orang…. Misal kami bilang, “Kamu elek”. “Apa elek?” . “Elek itu cantik”….Oh Wilma tersenyum malu-malu dan meledaklah tawa kami. Tentu saja Wilma bisa merasakan ada yang aneh dengan tawa kami yang berderai-derai. Kami bisa mengobrol bebas karena kami gak perlu bahasa isyarat. Mereka membaca gerak bibir kami, makanya kalau mau komentar hati-hati ya…. Kami pun mendengar lewat kata yang mereka ucapkan… Ada yang jelas, ada yang kurang, tapi kami mencoba mengerti mereka. SLB B Wonosobo, Cimahi, dan 1 SLB di Jakarta ini menerapkan pendekatan oral murni.

Oh aku bersyukur mereka masih setia dengan pendekatan ini. Kupikir setelah sering lihat ada orang yang mencoba menerjemahkan dengan bahasa isyarat di televisi, itu artinya semua SLB B wajib menerapkan pendekatan ini. Karena dengan membaca bibir mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Kita pun yang ingin berkomunikasi dengan mereka bisa saja langsung mengobrol tanpa harus bersusah payah belajar bahasa isyarat. Asal pembaca berita di televisi artikulasinya jelas, mereka pasti bisa menangkap isi berita. Kalaupun ada liputan gambar, bisa dibantu dengan running text, atau tulisan yang berjalan di bawahnya.

Liliana meski tuna rungu dan memakai alat bantu dengar, rangkingnya gak kalah sama temanku lainnnya loh, bahkan 10 besar. Suatu saat dia lupa bawa alat bantu dengar. Waktu diterangkan sama Pak Tris guru matematika, dia bingung. Tiba-tiba saja dengan keras sekali dia tanya padaku, “Empat dari mana?” Ger….semua anak di kelas ketawa….Tenang….Lili gak bakal dengar karena kami duduk di bangku depan. Kecuali kalau pada noleh, tentu dia merasa. Mau tidak mau aku dituntut untuk mengerti penjelasan guru. Kalau Liliana gak jelas, otomatis dia minta aku menerangkannya. Ada untungnya juga, aku terpacu untuk lebih pintar dan rajin. Masa sih asisten guru kalah sama muridnya? He..he…

Liliana baik banget sama aku dan teman-teman, suka bawain permen kecil-kecil dan kalau Tahun Baru Cina dia akan bawa kue keranjang. Sesekali mentraktir aku. Pak Widodo guru kesenianku yang lucu pernah bilang, ”Gun duduknya jangan minggir-minggir ya, Liliana kan gemuk, kamu kecil, nanti bangkunya ‘njomplang’ loh.” Ha… ha… bahagianya sekolah di sekolah swasta, gurunya dekat dan bisa gojekan sama muridnya.

Tapi suatu saat aku juga pernah bosan juga duduk di sebelah Liliana terus, aku pengen merasakan duduk sama teman lain. Gantian teman lain jadi asisten guru dong…. Aku tentu saja enggak bisa serta merta  pindah bangku. Aku bilang ke Liliana dulu, “Mengapa?” tanyanya langsung sedkit melotot karena kaget mungkin. Kujelaskan alasannya… Tiba-tiba saja mata dan muka Liliana memerah, hatinya bergejolak, sebentar kemudian berkaca-kaca, dan pecahlah air matanya. Dia segera mengambil tisu dari sakunya. Eh hidungnya juga ikutan pilek mendadak. Wadow… aku tolah-toleh, jujur takut ketahuan guru dan teman lain. Gak tega juga lihat Lili nangis, dia sudah cocok dan tergantung sama aku ternyata. Tiba-tiba saja aku ketawa lihat ingusnya nempel di hidung, karena tisunya gantian untuk mengusap air mata dan ingus. Ha…ha… trus kutepuk-tepuk bahunya sambil bilang, ”Lili, aku tidak jadi pindah.” Mata Liliana langsung berbinar dan senyumnya mengembang. Yah…mungkin waktu itu aku belum berpikir tentang “tepa-tepa” alias jika aku di posisi Lili.Tapi kini aku sadar, keputusanku waktu itu enggak salah, kuikuti kata hatiku.

Sesekali aku dan teman-teman pernah main di SLB B Dena Upakara di Jalan Mangli ke arah permandian alami. Bangunannya kuno, khas bangunan Belanda, jendelanya besar-besar, angin dan sinar matahari berlimpah. Pohon-pohon besar dan taman luas membuat SLB B khusus puteri ini terasa nyaman dan sejuk. Kalau mau tahu tentang SLB ini, klik saja http://slbdenaupakara.blogspot.com/2012/10/sejarah-singkat.html.Tentu saja mereka minta ijin dulu sama Suster PMY, penyelenggaranya kalau kami mau main. Kami lihat kelas dengan cermin besar dan ada guru yang duduk bersama murid kecil. Sang guru menyebut suku kata, kalau gak salah kata  ha. Tangan sang murid memegang leher guru, lalu dia menirukan sambil memegang lehernya sendiri. Mungkin dia merasakan getaran dari suatu suku kata ya, getaran pita suara. Yah ternyata di sinilah awal dari ribuan kata yang akan terucap di kemudian hari, kata yang menjadi daya hidup, sebab dengan kata-kata itu mereka menjadi manusia sosial, yang dibutuhkan dan membutuhkan teman. Mereka bukan mahluk yang hidup di dunianya sendiri. Kami juga melihat ada beberapa anak-anak kecil berdiri berjajar. Guru di depan memukul drum. Kalau guru memukul pelan, murid melambai pelan, tapi kalau guru memukul keras, murid-murid akan melambai dengan cepat pula. Lucu juga ya ternyata cara mengajarnya, karena kalau pendengarannya parah, lambaiannya tidak sama dengan teman lainnya. Bahkan kalau tidak mendengar ada yang tidak melambai sama sekali.

Sebelum pulang, kami sempat menjajal sepatu roda yang pada waktu itu terasa istimewa karena tidak setiap anak punya.  Hi…hi…malu aku. Pas melihat murid-murid berputar-putar di aula yang luas rasanya begitu mudahnya meluncur. Eh begitu kami coba… ups…buk… buk... dengan cepat pula badan kami terhempas ke lantai…. Sampai-sampai hanya untuk berjalan saja kami harus memegangi teralis-teralis jendela aula dengan wajah tegang, takut jatuh. Ha…ha…kasihan deh kami, gantiian kami diketawain sama anak-anak SLB…..

Yah sebetulnya kasihan juga ya, lihat anak-anak masih TK tapi harus terpisah dengan orang tuanya dan tinggal di asrama. Tapi dengar-dengar kalau sudah terlalu besar susah untuk dididik dengan metode oral. Tapi jangan salah, mereka juga dibekali keterampilan loh. Ada yang belajar tataboga, tatabusana, bahkan dulu di SLB B Don Bosco yang khusus putera ada jurusan bikin sepatu dan tenun loh. Mereka juga belajar berenang loh. Aku sama teman-teman pernah ketawa geli, ketika seorang anak tuna rungu putera ikutan lomba renang. Anaknya kecil dan agak coklat, kelihatannya dari Indonesia bagian timur. Anehnya rambutnya gak kelihatan basah, mungkin karena keriting ya, airnya langsung ngalir. Sebelum peluit ditiup dia dah “njebur” duluan. Itu dilakukan berulang-ulang. Akhirnya, tanda start memakai bendera… barulah si anak itu terjun bersamaan.

Suatu saat di tahun 1995an aku bertemu dengan Liliana lagi. Coba kamu tebak,  kenapa bisa? Ya iyalah ternyata Liliana itu kakaknya Lilianti teman kerjaku. Liliana  ikut Lilianti ke kantor…. Ah lucu deh, Liliana sekarang punya toko roti di Batang. Wah, pantas saja Liliana makin ndhut. Seneng melihatnya lagi. Aku lupa dia bilang apa tentang aku, tapi aku ingat senyum Liliana masih sama ketika SMP.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar