Minggu, 06 September 2015

ANTARA KEHIDUPAN DAN KEMATIAN


“ Nguing…nguing…nguing…” . Tanpa dikomando, kami berlompatan dari tempat tidur. Aku lari dengan terhuyung-huyung, rasanya mataku belum “melek” beneran dan dadaku berdebar-debar karena kaget . Seperti anak-anak kecil, aku, ibuku, dan anakku Adisti, menyibak korden dan mengintip dengan rasa ingin tahu. Rombongan mobil jenasah, mobil, dan truk penuh dengan orang-orang berbaju hitam melintas dengan cepat di depan rumah adikku di Makale. O alah Itu to… rombongan keluarga penjemput orang Toraja yang meninggal di kota lain, memasuki kota. Mereka selalu ingin dikubur di tanah leluhurnya. Untungnya , tadi kami tidak “kesrimpet” selimut atau ketatap pintu, karena tidak ingin melewatkan satu momen spesial. Itulah pagi pertamaku di Toraja.



Toraja aku datang….. Bener enggak seh segala cerita unik tentang kuburan, alam yang indah, dan rumah adat yang eksotik ada di dunia nyata? Jangan-jangan cuma cerita masa lalu saja dan hanya ada di foto-foto belaka?





Kalau kamu penakut, janganlah tinggal di Toraja. Jantungmu akan sering berhenti berdetak. Saat mobil yang kutumpangi melintas di belokan, tiba-tiba aku tertegun. Di atas batu besar yang teronggok di sawah, duduklah di kursi seorang laki-laki dengan baju tradisional lengkap dengan ikat kepalanya. Layaknya sedang menonton pertandingan sepak bola di tv, kakinya yang kanan dengan santai disilangkan di atas kaki kirinya. Jangan coba-coba kamu mengajaknya berbicara, pasti tak kan pernah keluar kata-kata dari mulutnya. Jangan pula pura-pura meminjam rokok yang sedang disedotnya. Ehm…tak ada lagi cahaya kehidupan di matanya. Ya temtu saja, jasad laki-laki itu telah bersemayam dengan tenang di dalam batu besar itu. Loh, lalu yang sedang duduk tadi siapa? Hi….hi….pasti hantunya? Bukan. Penjaga setianya? Oh tentu bukan. Itu cuma patungnya doang. Ih sukses deh, tertipu akyu. Sayang gak sempat kufoto.

Ya….ternyata tidak semua orang Toraja yang meninggal dikubur di tebing-tebing batu yang sangat tinggi. Mereka dengan bebas mengubur kerabatnya di mana-mana. Bener-bener gak beraturan, di mana-mana kuburan. Batu-batu besar dilubangi dari samping, supaya peti bisa dimasukkan. Ada juga yang membuat Patani (mbaca Patane), sebuah rumah kecil di kebun atau di pekarangan dekat rumah. Mereka menumpuk saja beberapa peti di situ. Ada Patani yang sangat indah, dicat warna-warni atau di depannya dihiasi etalase yang berisi patung seorang laki-laki dengan pakaian kebesaran. Ada juga Patani yang sederhana yang dibangun dari batu.



Saat aku keluar dari gua tempat tulang-belulang berserakan, aku sempatkan melihat papan duka cita yang dihiasi bunga plastik yang mulai memudar warnanya. Kuamati beberapa huruf dari gabus yang mulai dicemari lumpur. Lho kok fotonya gak cocok dengan kata-katanya? Gak salah nih mataku? Kudekatkan kepalaku tuk membaca lagi. Di situ terpampang foto seorang laki-laki tua. Aku mau ketawa tapi takut. Selamat jalan Bapak/Nenek kami, bla….bla….Wah ternyata tak ada panggilan kakek di Toraja, adanya ya nenek laki-laki. Kok bisa ya? Ada yang tahu? Kepo deh aku. Tapi kalo tulang-tulang berserakan di lantai gua dan enggak dikembalikan lagi ke tempatnya, aku dapat bocorannya. Ternyata untuk mengembalikan tulang itu, perlu upacara khusus yang berbiaya besar. Jadi, kalo belum ada uang ya biarkan saja tulang-tulang itu berserakan, seperti puisinya Chairil Anwar.


Ternyata meski kuburan ada di mana-mana, kesan horor tidak selalu melekat. Kematian tak lantas memisahkan dua kehidupan. Tetap saja mereka terasa ada dan dekat di mata, walau hanya berupa foto yang tergantung ataupun patung. Mereka menjadi saksi bisu kehidupan nyata yang terus berdenyut.

Sepenggal cerita yang tercecer dari negeri di awan, 23-28 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar