Minggu, 06 September 2015

BUAYA OH...BUAYA

Syahdan… pada hari Sabtu pagi yang cerah, kami bertujuh menyewa mobil kijang dari Sangata, tuk menjelajah Taman Nasional Kutai (TNK) di Bontang, Kaltim. Bener gak ya namanya?  Jalan panggung berkelok-kelok dari kayu ulin yang berjajar rapi menyambut kami, keren abis, bener-bener alami.  Baru saja  kami mau melangkah, tiba-tiba seekor ular nylonong memotong langkah kami. Untung hanya seekor ular kecil, tapi hatiku dag-dig-dug juga sih. Belum-belum sudah disambut si penghuni hutan, bagaimana yang di dalam ya, jangan-jangan kami ketemu emaknya? Siapa tahu yang tadi si anak ular yang hilang. Hi…hi…hi….




Kami berjalan sambil ketawa-tiwi. Jadi ingat minggu-minggu pertama aku datang. Mbak Elis, temanku di senior camp bilang padaku: “Makan sudah.“ Sedikit bingung kujawab, “Belum.” O alah… jebule artinya makanlah, tak kira tanya, sudah makan belum? Memang waktu itu di hadapan kami, ada pisang goreng yang dicocol sambal, yang menurut bayanganku jadi aneh gitu rasanya. Mbak Elis dan Mbak Betty yang mendengar jawabanku, langsung ketawa lebar….Habis nadanya meninggi sih seperti mau bertanya.  

Tanaman temu lawak tumbuh subur dan terlihat sangat bongsor, lebih tinggi dariku. Semut-semut hutan hitam besar berbaris rapi di atas pohon yang tumbang dan lapuk. Amit-amit deh jangan sampai kita menginjak mereka, gigitannya mengagetkan dan sakitnya gak langsung ilang. Nut….senut…senut…lebih payah daripada cintanya Smash yang cenat-cenut. Aku pernah gaya-gaya berfoto bersama teman-teman di rerumputan di bawah cemara. Tau-tau mak cekot….opo iki. Sampai-sampai aku lari pontang-panting dan sandalku terlempar. Ah mau gaya malah kena malu, ada bosku lagi. Ya iyalah secara si semut kan cuma mau mempertahankan diri. Masak mau mati sih gara-gara orang bergaya di depan kamera.

Di tengah perjalanan ada rumah pohon. Untuk sampai di atas, ada tangga kayu yang menempel di batang pohon. Entahlah aku tak berani mencoba naik. Habis tinggi banget. Kulihat temanku yang cowok mencoba sampai di atas. Hebat…hebat… Kalau badanku sehat pasti tak kulewatkan kesempatan itu. Lha aku baru saja hampir pingsan, entah karena sudah lama gak pernah olah raga atau karena aku nonton film di HBO sampai malam banget.

Ehm… saat kulewati jembatan yang kayunya pada lepas-lepas aku ndak begitu tegang karena aku masih bisa melompat dan berpegangan. Tapi saat melihat jembatan yang gak ada kayunya sedikitpun, hatiku berdebar-debar banget. Hanya ada tiga kawat, satu diinjak, dua untuk pegangan. Lagian jarak antar pegangan berjauhan. Mati aku, segera saja cerita tentang buaya gede-gede penghuni sungai Kalimantan yang terkenal suka makan orang memenuhi otakku. Kalau saja aku tau medannya begini, pasti kuurungkan niatku menjelajah hutan. Kupikir semua teman-temanku sama shocknya dengan diriku, tak terkecuali para cowok. Bisa-bisa aku tak bisa pulang dan tinggal nama….Tapi kalau mau balik lagi, wuih ndak mungkin karena jauh banget. Mau nanya, juga nanya siapa coba, wong di tengah hutan, gak ada orang yang bisa ditanyai jalan alternatif.


Akhirnya, kami memutuskan untuk menyeberang satu per satu. Saya lupa apa alasan pastinya. Apakah kalau berdua, jembatan tidak kuat dan bisa-bisa malah putus? Ataukah kalau berdua atau bertiga malah goyang-goyang? Waktu tiba giliranku, aku berdoa kepada Tuhan, sungguh-sungguh memohon kekuatan dan keselamatan. Sandal kumasukkan ke dalam tas yang kugantungkan di leher. Awalnya aku melangkah dengan tenang, begitu melihat air coklat yang mengalir pelan dan gak bisa ditebak dalamnya,  hatiku mulai berdebar-debar, tangan berkeringat dingin, dan jembatan menjadi bergoyang-goyang kencang…. Tiba-tiba aku begitu panik. Seumur-umur baru kali itu kurasakan takut luar biasa. Pasti mukaku pucat pasi. Kalau keningku terluka, darahku sudah berubah putih semua…. Teman-temanku yang sudah sampai maupun yang belum dapat giliran, berteriak pada menyemangati. “Ayo….Mbak, Mbak Gun pasti bisa,” begitu teriak Woro. Setelah bernafas pelan-pelan kulangkahkan kakiku lagi. Eh…. sempat-sempatnya juga aku bergaya tuk berfoto sejenak dan tersenyum semanis-manisnya. Begitu sampai seberang, aku meloncat-loncat riang. Beban seberat gunung lepas sudah. Mungkin jembatannya hanya 20 meter tapi rasanya ratusan meter. Ada temanku cewek yang mau menyeberang, beberapa kali dia berbalik lagi, ragu-ragu dan mau menangis. Untung ada cowok yang baru dikenalnya yang dengan sabar meyakinkannya.

Itulah kekuatan pikiran. Mungkin saja, sebetulnya di sungai itu  ndak ada seekor buaya pun, tapi kami sudah dihantui keyakinan kalau semua sungai di Kalimantan pasti ada buayanya. Aku jadi membayangkan mata si buaya awas memelototi gerak-gerik kami dan siap-siap membuka mulutnya dengan lebar tuk menangkap bila tubuh kami terjatuh…. Tapi kami gak kepikiran tuk membuktikan, mungkin dengan melempar-lempar batu, tuk tau ada buaya atau tidak. Ah sudahlah…tak usah mengusik mereka.

Uh….begitu keluar hutan. Legalah hati kami. Mungkin gak banyak yang bisa dilihat seh, cuma ada beberapa binatang di tanah yang belum pernah kulihat di tanah Jawa. Untung kami juga gak ketemu si emaknya atau neneknya ular. Tapi, hari itu aku merasa menjadi lebih bersyukur, masih diberi kesempatan tuk hidup. Bersyukur, punya teman-teman yang bisa saling mendukung saat kami menghadapi kesulitan bersama. Bersyukur kami tidak kehujanan di hutan. Kami juga harus memperhatikan safety, bawa talilah, obat-obatan,  peta, dll. Ikan bakar di kampung laut di Bontang sore itu jadi terasa sangat nikmat, senikmat anugerah Tuhan.

Ya dalam hidup ini kadang kita melewati jalan yang terjal dan berliku yang tidak kita bayangkan sebelumnya, mak bedunduk sudah di depan mata,  mau tidak mau harus kita lewati. Kalau tidak kita jalani, sama juga kita berjalan mundur. Ada kalanya kita muter-muter, mencoba jalan lain, tapi akhirnya kembali ke jalan yang sama. Manusiawi sekali kalau kita ragu-ragu dan takut salah mengambil keputusan. Tapi, kadang ketakutan itu yang membuat kaki kita berat untuk melangkah. Akhirnya kita tersadar, masalah terasa berat atau ringan itu lebih bergantung pada bagaimana cara kita memandangnya. Kita bisa memilih, itu menjadi masalah atau bukan masalah. Ada seseorang yang mendapat masalah kecil tapi stresnya minta ampyun. Lha iyalah, karena trus gak bisa mikir cari solusinya. Di sisi lain ada yang punya masalah berat, tapi santai-santai saja, karena dia berpikir ada orang lain yang masalahnya lebih besar. Mungkin saat kita berani menjalani, kita menjadi plong. Ya anggap saja kita sedang menjalani ujian hidup. Kalau mau lulus, kita harus menyatukan rasa dan pikiran. Mungkin Tuhan punya rencana indah di balik semuanya.
                                                      
Andai aku tidak membayangkan ada buaya di dalam sungai, mungkin aku bisa berjalan santai di jembatan gantung. Ah siapa tau yang dredegnya minta ampyun ya… cuma akyu seorang. Hem… masa-masa indah 8 th yang lalu… bersama Mbak Puput, Keke, Woro, Siti, dan maaf yang cowok kok lupa sak plengan.

Pebruari-Mei 2003




Tidak ada komentar:

Posting Komentar