Syahdan…
pada hari Sabtu pagi yang cerah, kami bertujuh menyewa mobil kijang
dari Sangata, tuk menjelajah Taman Nasional Kutai (TNK) di Bontang,
Kaltim. Bener gak ya namanya? Jalan panggung berkelok-kelok dari kayu
ulin yang berjajar rapi menyambut kami, keren abis, bener-bener alami.
Baru saja kami mau melangkah, tiba-tiba seekor ular nylonong memotong
langkah kami. Untung hanya seekor ular kecil, tapi hatiku dag-dig-dug
juga sih. Belum-belum sudah disambut si penghuni hutan, bagaimana yang
di dalam ya, jangan-jangan kami ketemu emaknya? Siapa tahu yang tadi si
anak ular yang hilang. Hi…hi…hi….
Kami
berjalan sambil ketawa-tiwi. Jadi ingat minggu-minggu pertama aku
datang. Mbak Elis, temanku di senior camp bilang padaku: “Makan sudah.“ Sedikit bingung kujawab, “Belum.” O alah… jebule artinya makanlah,
tak kira tanya, sudah makan belum? Memang waktu itu di hadapan kami,
ada pisang goreng yang dicocol sambal, yang menurut bayanganku jadi aneh
gitu rasanya. Mbak Elis dan Mbak Betty yang mendengar jawabanku,
langsung ketawa lebar….Habis nadanya meninggi sih seperti mau bertanya.
Tanaman
temu lawak tumbuh subur dan terlihat sangat bongsor, lebih tinggi
dariku. Semut-semut hutan hitam besar berbaris rapi di atas pohon yang
tumbang dan lapuk. Amit-amit deh jangan sampai kita menginjak mereka,
gigitannya mengagetkan dan sakitnya gak langsung ilang.
Nut….senut…senut…lebih payah daripada cintanya Smash yang cenat-cenut.
Aku pernah gaya-gaya berfoto bersama teman-teman di rerumputan di bawah
cemara. Tau-tau mak cekot….opo iki. Sampai-sampai aku lari
pontang-panting dan sandalku terlempar. Ah mau gaya malah kena malu, ada
bosku lagi. Ya iyalah secara si semut kan cuma mau mempertahankan diri.
Masak mau mati sih gara-gara orang bergaya di depan kamera.
Di
tengah perjalanan ada rumah pohon. Untuk sampai di atas, ada tangga
kayu yang menempel di batang pohon. Entahlah aku tak berani mencoba
naik. Habis tinggi banget. Kulihat temanku yang cowok mencoba sampai di
atas. Hebat…hebat… Kalau badanku sehat pasti tak kulewatkan kesempatan
itu. Lha aku baru saja hampir pingsan, entah karena sudah lama gak
pernah olah raga atau karena aku nonton film di HBO sampai malam banget.
Ehm…
saat kulewati jembatan yang kayunya pada lepas-lepas aku ndak begitu
tegang karena aku masih bisa melompat dan berpegangan. Tapi saat melihat
jembatan yang gak ada kayunya sedikitpun, hatiku berdebar-debar banget.
Hanya ada tiga kawat, satu diinjak, dua untuk pegangan. Lagian jarak
antar pegangan berjauhan. Mati aku, segera saja cerita tentang buaya
gede-gede penghuni sungai Kalimantan yang terkenal suka makan orang
memenuhi otakku. Kalau saja aku tau medannya begini, pasti kuurungkan
niatku menjelajah hutan. Kupikir semua teman-temanku sama shocknya
dengan diriku, tak terkecuali para cowok. Bisa-bisa aku tak bisa pulang
dan tinggal nama….Tapi kalau mau balik lagi, wuih ndak mungkin karena
jauh banget. Mau nanya, juga nanya siapa coba, wong di tengah hutan, gak
ada orang yang bisa ditanyai jalan alternatif.
Akhirnya,
kami memutuskan untuk menyeberang satu per satu. Saya lupa apa alasan
pastinya. Apakah kalau berdua, jembatan tidak kuat dan bisa-bisa malah
putus? Ataukah kalau berdua atau bertiga malah goyang-goyang? Waktu tiba
giliranku, aku berdoa kepada Tuhan, sungguh-sungguh memohon kekuatan
dan keselamatan. Sandal kumasukkan ke dalam tas yang kugantungkan di
leher. Awalnya aku melangkah dengan tenang, begitu melihat air coklat
yang mengalir pelan dan gak bisa ditebak dalamnya, hatiku mulai
berdebar-debar, tangan berkeringat dingin, dan jembatan menjadi
bergoyang-goyang kencang…. Tiba-tiba aku begitu panik. Seumur-umur baru
kali itu kurasakan takut luar biasa. Pasti mukaku pucat pasi. Kalau
keningku terluka, darahku sudah berubah putih semua…. Teman-temanku yang
sudah sampai maupun yang belum dapat giliran, berteriak pada
menyemangati. “Ayo….Mbak, Mbak Gun pasti bisa,” begitu teriak Woro.
Setelah bernafas pelan-pelan kulangkahkan kakiku lagi. Eh….
sempat-sempatnya juga aku bergaya tuk berfoto sejenak dan tersenyum
semanis-manisnya. Begitu sampai seberang, aku meloncat-loncat riang.
Beban seberat gunung lepas sudah. Mungkin jembatannya hanya 20 meter
tapi rasanya ratusan meter. Ada temanku cewek yang mau menyeberang,
beberapa kali dia berbalik lagi, ragu-ragu dan mau menangis. Untung ada
cowok yang baru dikenalnya yang dengan sabar meyakinkannya.
Itulah
kekuatan pikiran. Mungkin saja, sebetulnya di sungai itu ndak ada
seekor buaya pun, tapi kami sudah dihantui keyakinan kalau semua sungai
di Kalimantan pasti ada buayanya. Aku jadi membayangkan mata si buaya
awas memelototi gerak-gerik kami dan siap-siap membuka mulutnya dengan
lebar tuk menangkap bila tubuh kami terjatuh…. Tapi kami gak kepikiran
tuk membuktikan, mungkin dengan melempar-lempar batu, tuk tau ada buaya
atau tidak. Ah sudahlah…tak usah mengusik mereka.
Uh….begitu
keluar hutan. Legalah hati kami. Mungkin gak banyak yang bisa dilihat
seh, cuma ada beberapa binatang di tanah yang belum pernah kulihat di
tanah Jawa. Untung kami juga gak ketemu si emaknya atau neneknya ular.
Tapi, hari itu aku merasa menjadi lebih bersyukur, masih diberi
kesempatan tuk hidup. Bersyukur, punya teman-teman yang bisa saling
mendukung saat kami menghadapi kesulitan bersama. Bersyukur kami tidak
kehujanan di hutan. Kami juga harus memperhatikan safety, bawa talilah,
obat-obatan, peta, dll. Ikan bakar di kampung laut di Bontang sore itu
jadi terasa sangat nikmat, senikmat anugerah Tuhan.
Ya dalam hidup ini kadang kita melewati jalan yang terjal dan berliku yang tidak kita bayangkan sebelumnya, mak bedunduk sudah
di depan mata, mau tidak mau harus kita lewati. Kalau tidak kita
jalani, sama juga kita berjalan mundur. Ada kalanya kita muter-muter,
mencoba jalan lain, tapi akhirnya kembali ke jalan yang sama. Manusiawi
sekali kalau kita ragu-ragu dan takut salah mengambil keputusan. Tapi,
kadang ketakutan itu yang membuat kaki kita berat untuk melangkah.
Akhirnya kita tersadar, masalah terasa berat atau ringan itu lebih
bergantung pada bagaimana cara kita memandangnya. Kita bisa memilih, itu
menjadi masalah atau bukan masalah. Ada seseorang yang mendapat masalah
kecil tapi stresnya minta ampyun. Lha iyalah, karena trus gak bisa
mikir cari solusinya. Di sisi lain ada yang punya masalah berat, tapi
santai-santai saja, karena dia berpikir ada orang lain yang masalahnya
lebih besar. Mungkin saat kita berani menjalani, kita menjadi plong. Ya
anggap saja kita sedang menjalani ujian hidup. Kalau mau lulus, kita
harus menyatukan rasa dan pikiran. Mungkin Tuhan punya rencana indah di
balik semuanya.
Andai
aku tidak membayangkan ada buaya di dalam sungai, mungkin aku bisa
berjalan santai di jembatan gantung. Ah siapa tau yang dredegnya minta
ampyun ya… cuma akyu seorang. Hem… masa-masa indah 8 th yang lalu…
bersama Mbak Puput, Keke, Woro, Siti, dan maaf yang cowok kok lupa sak
plengan.
Pebruari-Mei 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar