Malu bisa
bikin pingsan? Gak percaya? Yuk kita bayangkan dulu Yogyakarta tempo doeloe,
tahun 60-an pa 70-an. Pada waktu itu jalan raya mungkin belum semulus dan
selebar sekarang. Kita bisa bersepedaan dengan aman dan paru-paru kita penuh
terisi udara bersih. Sepanjang mata memandang sawah dan pepohonan terlihat
hijau kontras dengan birunya langit, belum tertutup pertokoan dan rumah-rumah
yang berjajar di pinggir jalan. Pada waktu itu mobil dan angkutan umum termasuk
barang yang langka, gak seabreg sekarang.
Di
pinggir jalan si embok bakul beras ( seorang ibu penjual beras) duduk
sambil mengunyah sirih. Entahlah sudah berapa kali si embok memerahi tanah
dengan sirihnya. Keringat mulai memenuhi keningnya, lehernya pun mulai pegal
karena selalu memandang ke satu arah. Dari jauh terlihat setitik hitam yg
semakin lama semakin membesar. Wau….ini dia yg kutunggu. Senyum mengembang dari
bibir yang penuh sirih itu (Gak bisa mbayangkan to senyum sambil nyusur?) .
“Eit, lha kok sedan to bukan bis?”, keluhnya. Hatinya yang hampir mingkup
kembali mekrok (mengembang), sesaat mobil itu berhenti. Seorang
laki-laki gagah turun dari mobil. Si embok jadi salting, bagai mimpi di siang
bolong, didatangi seorang pangeran. Laki-laki itu menawari si embok untuk ikut
ke kota. Awalnya si embok menolak. Bukannya sombong, tapi embok gak enak hati,
kakinya yang tak beralas dan karung-karung beras itu pasti akan mengotori mobil
bagus itu. Tapi akhirnya si embok luluh juga melihat ketulusan laki-laki itu.
Bahkan dengan gesit dan luwes, karung-karung beras itu dimasukkan
dalam bagasinya.
Tentu
saja si embok tak mau merebahkan diri dan tidur di mobil yang nyaman itu.
Dinikmatinya pandangan takjub dari orang-orang di pinggir jalan. “Oh begini to
rasanya jadi ndoro ayu, uenak tenan rek…”, batinnya saat duduk di depan.
Sesekali kondenya bergoyang-goyang diterpa angin. Dengan lugunya dia ngobrol
bebas dengan laki-laki yang baik itu. Tak terasa mobil sampai di depan Pasar
Kranggan. Laki-laki itu segera mengeluarkan karung-karung beras. Dengan sigap
pula, si embok mengeluakan uang dari kenditnya (kain pengikat pinggang)
dan diberikan kepada laki-laki itu. Tapi tanpa diduga laki-laki itu dengan
sopan menolak uang itu. Si embok memaksa tapi laki-laki itu tetap menolak.
Akhirnya, si embok muntap (emosi), Apa dikira bakul beras ndak punya
uang, begitu pikirnya. Dia ambil lebih banyak uang, dikiranya laki-laki minta
bayaran lebih. Laki-laki itu pun pergi diringi grundelan (marah-marah
sendiri ) si embok.
“Nyuwun
pangapunten. Mbakyu tau ndak siapa laki-laki itu?”
"Ya ndak to, Kang."
"Sampeyan tau apa?"
"Wau menika Sinuwun, Sri Sultan."
"Apa....?!?!? Ten...ten...ten...na....na....ne....Kaaaaaang?"
Tanpa
menunggu jawaban dari tukang becak, bibir si embok bergetar. Toeng...toeng...
pandangan buyar dan dadanya berdetak tak karuan dan mak puk… dia langsung
pingsan. Tubuhnya lemas terkulai dikerubuti tukang-tukang becak dan bakul-bakul.
Si embok tak kuat menahan malu. Si embok pun merasa kualat dengan rajanya.
Betapa menyesalnya dia karena telah berlaku kasar alias tidak sopan. Si embok
ingin bersembah sujud, mencium dan membasahi kaki rajanya dengan air matanya
sambil mengucap beribu-ribu maaf.
Apa kata
dunia? Kalau saja media massa seheboh sekarang, langsung ada live show dan
wawancara ekslusif. Ah…lebay-lebay. Aslinya memang gak sebegitunya ( dah
kuracik lagi dengan versiku, juga sedikit lupa2 sama yang aslinya), tapi salah
satu cerita sisipan Majalah Femina itu sangat istimewa membekas dalam
ingatanku sampai sekarang, mengundang tawa sekaligus keharuan. Untuk mengetahui
keadaan masyarakat dan daerahnya Sri Sultan cukup turne, sendirian,
keliling Jogja dengan sedannya tanpa perlu pengawalan yang super dan raungan
sirene yang memekakkan telinga. Orang-orang pun tak perlu minggir bahkan
berhenti berjam-jam untuk memberi kesempatan rajanya lewat. Ya temtu saja, wong
jalan masih sepi. Tanpa baju kebesaran pasti sosok sultan yang membumi itu
tidak mudah dikenal orang. Apalagi jaman dulu penguasa tidak otomatis jadi
seleb, wajahnya tidak berseliweran tiap saat di tivi maupun koran.
Berbicara
tentang Jogja,memang tak bisa dilewatkan dari sosok kharismatik. Siapa lagi
kalau bukan Sri Sultan Hamengku Buono IX. Aku memang belum pernah bertemu
langsung dengan beliau, tetapi saat beliau wafat, aku dan masyarakat Jogja
merasa kehilangan sosok seorang raja. Aku ditemani Sunik, temanku yang asli
Jogja, sepulang kuliah langsung menuju kraton. Bayanganku ah paling cuma
sebentar saja. Blaik, ternyata di depan kraton orang-orang berjubel di depan
pintu gerbang tinggi yang tertutup. Makin lama makin banyak saja orang yang
melayat. Segera saja ruang untuk bergerak terasa sempit. Bisa bayangkan waktu itu,
aku kurus, kecil, dan mungil, terhimpit di antara ribuan orang. Banyak
pinisepuh, berkebaya dan bersurjan gelap bahkan hitam ikut melayat. Uwak-uwek,
gronjal-granjil, kok ada yang gerak-gerak di punggungku ya. Ha…ha…ternyata
si eyang sepuh itu melepas sandalnya dan memasukkan dalam kendit, takut lepas
dan ilang mungkin ya? Saat gerbang dibuka, massa langsung menyeruak masuk ke
kraton. Massa yang dari jauh melihat gerbang dibuka otomatis langsung bergerak
ke depan. Ada ibu-ibu yang gak perlu berjalan pun bisa maju sendiri, lha iya
wong jariknya ketarik orang-orang dan badannya kedorong dari belakang. Tau
enggak, hi…hi…hi…malu aku, kancing bajuku yg di belakang pun sampai lepas.
Untung aku pake kaos dalam dan untungnya lagi…cuma kancingnya yang lepas bukan
bajunya. Aku bisa mengerti kenapa ada banyak sandal dan baju korban yang
berserakan di jembatan Kamboja waktu pesta air. Seorang pegawai keraton apa
petugas keamanan terlihat duduk meringis perih, kuku kakinya terlepas dan
berdarah-darah. Heroik banget waktu itu, mungkin karena sudah nunggu berjam-jam
dan panas, orang jadi begitu.
Aku dan
Sunik langsung mengikuti saja orang yang berjalan di depan. Waktu mau masuk
salah satu pintu menyamping yang berhadapan, seorang ibu dengan sopan, sujud
menyembah tombak-tombak yang berjajar di depan dua pintu. Aku dan Sunik tanpa
pikir panjang, langsung ikut-ikutan bersembah sujud. Hua…ha…ha…lugu banget,
wong deso Wonosobo masuk keraton. Mikirku waktu itu, ya memang harus gitu.
Tombak, mungkin benda yang sakral penanda kehadiran sultan. Jangan-jangan orang
di belakangku juga ikut-ikutan udik seperti kami?
Suasana
penuh keagungan bercampur dengn syahdu saat kulihat dari jauh peti yang besar
dan indah di tengah pendapa. Gamelan lembut mengalun dan bau harum tercium dari
bunga-bunga yang ada di mana-mana. Seingatku ada papan bertuliskan Katolik,
Kristen, Hindu, Budha, dan Islam di sekitar peti ( Kalau salah, maaf seribu
maaf ya, sudah 20 th lebih soalnya ) dan para pelayat segera saja duduk
bersimpuh memanjatkan doa sesuai agamanya. Sesudah kami taburkan bunga mawar
merah putih yang disediakan kraton, aku dan Sunik keluar dari pintu barat.
Byuh….byuh….ternyata alun-alun utara telah menjadi lautan manusia. Gek kapan
mereka dapat giliran masuk, bisa-bisa subuh baru mereka bisa masuk, karena pake
sistem buka tutup. Untung-untung kami termasuk gelombang pertama.
Wah jadi
ingat dengan Gus Dur dan Romo Mangunwijaya, pelayat dari berbagai agama datang
juga. Ternyata seorang pemimpin sejati, sesudah meninggal pun, tetap membawa
aura perdamaian. Pasti waktu hidupnya tulus ikhlas menerima perbedaan dan
memperjuangan nilai-nilai kemanusian yang universal. Jadi, mrinding nih,
teringat masyarakat Jogja yang memenuhi jalan-jalan saat kereta jenazah menuju
ke Imogiri. Begitu pula warga Code dari anak-anak sampai simbah-simbah
menghormati iringan mobil jenazah Rm. Mangun yang melewati jalan dekat Kali
Code.
Itulah
perjumpaanku secara spiritual dengan Sri Sultan Hemengku Buono IX ( jeileh
ck..ck …ck..…). Dulu waktu aku kos, aku nyuci baju sambil nyetel radio. Sang
penyiar memberitakan bahwa menurut sensus penduduk, rata-rata umur kematian
orang Jogja 5 th di atas rata-rata nasional. We lha tambah mantep nderek sultan
ki. Tp habis gempa, apa pernah disensus lg ya?
Kenapa
tiba-tiba aku terusik tuk menulis tentang Sri Sultan HB IX? Mungkin bisa
disimak dan direnungkan yang ditulis Sukardi Rinakit dalam Kompas, hari Senin,
30 Nopember 2010 dengan judul Yogya Kembali : …. Penetapan Sultan HB sebagai
gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur adalah “Mas Kawin” yang
disepakati Republik saat itu. Jika Mas Kawin itu diminta kembali , maka seperti
dikatakan Sultan HB X, berarti “ijab kabul” batal….
Kalau DIY
tetap jadi daerah istimewa, pa bener gak sesuai dengan konstitusi dan nilai
demokrasi? Silakan dikaji sendiri dari sejarahnya. Lihatlah kenapa Aceh, Papua,
dan DKI tetap menjadi istimewa atau khusus? Kenapa hanya Jogja yang
dipertentangkan? Yang jelas aku enggak mau terjadi kerusuhan dan perpecahan
jika posisi gubernur dan wakil gubernur terbuka untuk diperebutkan siapa saja.
Bukan lagi seorang pemimpin sejati yang akan muncul tetapi uang akan menentukan
siapa yang berkuasa. Lagi-lagi pasti rakyat hanya jadi penonton, dan bahkan
jadi korban. Yang penting sekarang bagaimana Sultan dan Paku Alam bisa dengan
bijkasana memaknai keistimewaan tersebut, sehingga Jogja tetap jadi tempat yang
tata tentrem raharja lan loh jinawi. Ya ndak teman-teman?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar