Sabtu, 05 September 2015

JANGAN LUPAKAN SEJARAH : KISAH ISTIMEWA SI EMBOK BAKUL BERAS




Malu bisa bikin pingsan? Gak percaya? Yuk kita bayangkan dulu Yogyakarta tempo doeloe, tahun 60-an pa 70-an. Pada waktu itu jalan raya mungkin belum semulus dan selebar sekarang. Kita bisa bersepedaan dengan aman dan paru-paru kita penuh terisi udara bersih. Sepanjang mata memandang sawah dan pepohonan terlihat hijau kontras dengan birunya langit, belum tertutup pertokoan dan rumah-rumah yang berjajar di pinggir jalan. Pada waktu itu mobil dan angkutan umum termasuk barang yang langka, gak seabreg sekarang. 
Di pinggir jalan si embok bakul beras ( seorang ibu penjual beras) duduk sambil mengunyah sirih. Entahlah sudah berapa kali si embok memerahi tanah dengan sirihnya. Keringat mulai memenuhi keningnya, lehernya pun mulai pegal karena selalu memandang ke satu arah. Dari jauh terlihat setitik hitam yg semakin lama semakin membesar. Wau….ini dia yg kutunggu. Senyum mengembang dari bibir yang penuh sirih itu (Gak bisa mbayangkan to senyum sambil nyusur?) . “Eit, lha kok sedan to bukan bis?”, keluhnya. Hatinya yang hampir mingkup kembali mekrok (mengembang), sesaat mobil itu berhenti. Seorang laki-laki gagah turun dari mobil. Si embok jadi salting, bagai mimpi di siang bolong, didatangi seorang pangeran. Laki-laki itu menawari si embok untuk ikut ke kota. Awalnya si embok menolak. Bukannya sombong, tapi embok gak enak hati, kakinya yang tak beralas dan karung-karung beras itu pasti akan mengotori mobil bagus itu. Tapi akhirnya si embok luluh juga melihat ketulusan laki-laki itu. Bahkan dengan gesit dan luwes, karung-karung  beras  itu dimasukkan dalam bagasinya. 
Tentu saja si embok tak mau merebahkan diri dan tidur di mobil yang nyaman itu. Dinikmatinya pandangan takjub dari orang-orang di pinggir jalan. “Oh begini to rasanya jadi ndoro ayu, uenak tenan rek…”, batinnya saat duduk di depan. Sesekali kondenya bergoyang-goyang diterpa angin. Dengan lugunya dia ngobrol bebas dengan laki-laki yang baik itu. Tak terasa mobil sampai di depan Pasar Kranggan. Laki-laki itu segera mengeluarkan karung-karung beras. Dengan sigap pula, si embok mengeluakan uang dari kenditnya (kain pengikat pinggang) dan diberikan kepada laki-laki itu. Tapi tanpa diduga laki-laki itu dengan sopan menolak uang itu. Si embok memaksa tapi laki-laki itu tetap menolak. Akhirnya, si embok muntap (emosi), Apa dikira bakul beras ndak punya uang, begitu pikirnya. Dia ambil lebih banyak uang, dikiranya laki-laki minta bayaran lebih. Laki-laki itu pun pergi diringi grundelan (marah-marah sendiri ) si embok.
Nyuwun pangapunten. Mbakyu tau ndak siapa laki-laki itu?”
"Ya ndak to, Kang."
"Sampeyan tau apa?"
"Wau menika Sinuwun, Sri Sultan."
"Apa....?!?!? Ten...ten...ten...na....na....ne....Kaaaaaang?"
Tanpa menunggu jawaban dari tukang becak, bibir si embok bergetar. Toeng...toeng... pandangan buyar dan dadanya berdetak tak karuan dan mak puk… dia langsung pingsan. Tubuhnya lemas terkulai dikerubuti tukang-tukang becak dan bakul-bakul. Si embok tak kuat menahan malu. Si embok pun merasa kualat dengan rajanya. Betapa menyesalnya dia karena telah berlaku kasar alias tidak sopan. Si embok ingin bersembah sujud, mencium dan membasahi kaki rajanya dengan air matanya sambil mengucap beribu-ribu maaf. 
Apa kata dunia? Kalau saja media massa seheboh sekarang, langsung ada live show dan wawancara ekslusif. Ah…lebay-lebay. Aslinya memang gak sebegitunya ( dah kuracik lagi dengan versiku, juga sedikit lupa2 sama yang aslinya), tapi salah satu cerita sisipan Majalah Femina itu sangat istimewa membekas dalam ingatanku sampai sekarang, mengundang tawa sekaligus keharuan. Untuk mengetahui keadaan masyarakat dan daerahnya Sri Sultan cukup turne, sendirian, keliling Jogja dengan sedannya tanpa perlu pengawalan yang super dan raungan sirene yang memekakkan telinga. Orang-orang pun tak perlu minggir bahkan berhenti berjam-jam untuk memberi kesempatan rajanya lewat. Ya temtu saja, wong jalan masih sepi. Tanpa baju kebesaran pasti sosok sultan yang membumi itu tidak mudah dikenal orang. Apalagi jaman dulu penguasa tidak otomatis jadi seleb, wajahnya tidak berseliweran tiap saat di tivi maupun koran. 
Berbicara tentang Jogja,memang tak bisa dilewatkan dari sosok kharismatik. Siapa lagi kalau bukan Sri Sultan Hamengku Buono IX. Aku memang belum pernah bertemu langsung dengan beliau, tetapi saat beliau wafat, aku dan masyarakat Jogja merasa kehilangan sosok seorang raja. Aku ditemani Sunik, temanku yang asli Jogja, sepulang kuliah langsung menuju kraton. Bayanganku ah paling cuma sebentar saja. Blaik, ternyata di depan kraton orang-orang berjubel di depan pintu gerbang tinggi yang tertutup. Makin lama makin banyak saja orang yang melayat. Segera saja ruang untuk bergerak terasa sempit. Bisa bayangkan waktu itu, aku kurus, kecil, dan mungil, terhimpit di antara ribuan orang. Banyak pinisepuh, berkebaya dan bersurjan gelap bahkan hitam ikut melayat. Uwak-uwek, gronjal-granjil, kok ada yang gerak-gerak di punggungku ya. Ha…ha…ternyata si eyang sepuh itu melepas sandalnya dan memasukkan dalam kendit, takut lepas dan ilang mungkin ya? Saat gerbang dibuka, massa langsung menyeruak masuk ke kraton. Massa yang dari jauh melihat gerbang dibuka otomatis langsung bergerak ke depan. Ada ibu-ibu yang gak perlu berjalan pun bisa maju sendiri, lha iya wong jariknya ketarik orang-orang dan badannya kedorong dari belakang. Tau enggak, hi…hi…hi…malu aku, kancing bajuku yg di belakang pun sampai lepas. Untung aku pake kaos dalam dan untungnya lagi…cuma kancingnya yang lepas bukan bajunya. Aku bisa mengerti kenapa ada banyak sandal dan baju korban yang berserakan di jembatan Kamboja waktu pesta air. Seorang pegawai keraton apa petugas keamanan terlihat duduk meringis perih, kuku kakinya terlepas dan berdarah-darah. Heroik banget waktu itu, mungkin karena sudah nunggu berjam-jam dan panas, orang jadi begitu. 
Aku dan Sunik langsung mengikuti saja orang yang berjalan di depan. Waktu mau masuk salah satu pintu menyamping yang berhadapan, seorang ibu dengan sopan, sujud menyembah tombak-tombak yang berjajar di depan dua pintu. Aku dan Sunik tanpa pikir panjang, langsung ikut-ikutan bersembah sujud. Hua…ha…ha…lugu banget, wong deso Wonosobo masuk keraton. Mikirku waktu itu, ya memang harus gitu. Tombak, mungkin benda yang sakral penanda kehadiran sultan. Jangan-jangan orang di belakangku juga ikut-ikutan udik seperti kami?
Suasana penuh keagungan bercampur dengn syahdu saat kulihat dari jauh peti yang besar dan indah di tengah pendapa. Gamelan lembut mengalun dan bau harum tercium dari bunga-bunga yang ada di mana-mana. Seingatku ada papan bertuliskan Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam di sekitar peti ( Kalau salah, maaf seribu maaf ya, sudah 20 th lebih soalnya ) dan para pelayat segera saja duduk bersimpuh memanjatkan doa sesuai agamanya. Sesudah kami taburkan bunga mawar merah putih yang disediakan kraton, aku dan Sunik keluar dari pintu barat. Byuh….byuh….ternyata alun-alun utara telah menjadi lautan manusia. Gek kapan mereka dapat giliran masuk, bisa-bisa subuh baru mereka bisa masuk, karena pake sistem buka tutup. Untung-untung kami termasuk gelombang pertama. 
Wah jadi ingat dengan Gus Dur dan Romo Mangunwijaya, pelayat dari berbagai agama datang juga. Ternyata seorang pemimpin sejati, sesudah meninggal pun, tetap membawa aura perdamaian. Pasti waktu hidupnya tulus ikhlas menerima perbedaan dan memperjuangan nilai-nilai kemanusian yang universal. Jadi, mrinding nih, teringat masyarakat Jogja yang memenuhi jalan-jalan saat kereta jenazah menuju ke Imogiri. Begitu pula warga Code dari anak-anak sampai simbah-simbah menghormati iringan mobil jenazah Rm. Mangun yang melewati jalan dekat Kali Code.
Itulah perjumpaanku secara spiritual dengan Sri Sultan Hemengku Buono IX ( jeileh ck..ck …ck..…). Dulu waktu aku kos, aku nyuci baju sambil nyetel radio. Sang penyiar memberitakan bahwa menurut sensus penduduk, rata-rata umur kematian orang Jogja 5 th di atas rata-rata nasional. We lha tambah mantep nderek sultan ki. Tp habis gempa, apa pernah disensus lg ya? 
Kenapa tiba-tiba aku terusik tuk menulis tentang Sri Sultan HB IX? Mungkin bisa disimak dan direnungkan yang ditulis Sukardi Rinakit dalam Kompas, hari Senin, 30 Nopember 2010 dengan judul Yogya Kembali : …. Penetapan Sultan HB sebagai gubernur dan Paku Alam sebagai wakil gubernur adalah “Mas Kawin” yang disepakati Republik saat itu. Jika Mas Kawin itu diminta kembali , maka seperti dikatakan Sultan HB X, berarti “ijab kabul” batal….
Kalau DIY tetap jadi daerah istimewa, pa bener gak sesuai dengan konstitusi dan nilai demokrasi? Silakan dikaji sendiri dari sejarahnya. Lihatlah kenapa Aceh, Papua, dan DKI tetap menjadi istimewa atau khusus? Kenapa hanya Jogja yang dipertentangkan? Yang jelas aku enggak mau terjadi kerusuhan dan perpecahan jika posisi gubernur dan wakil gubernur terbuka untuk diperebutkan siapa saja. Bukan lagi seorang pemimpin sejati yang akan muncul tetapi uang akan menentukan siapa yang berkuasa. Lagi-lagi pasti rakyat hanya jadi penonton, dan bahkan jadi korban. Yang penting sekarang bagaimana Sultan dan Paku Alam bisa dengan bijkasana memaknai keistimewaan tersebut, sehingga Jogja tetap jadi tempat yang tata tentrem raharja lan loh jinawi. Ya ndak teman-teman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar