Saat aku berpapasan dengan pemuda yang satu ini, dada ini serasa berdebar-debar. Entah kenapa kenangan itu masih tertanam kuat dalam benakku, baik itu kenangan manis, lucu, maupun yang menggemaskan. Aku mengenal dan akrab dengan pemuda ini saat aku KKN di Godean. Tau kan, Godean yang dulu sering disebut-sebut di televisi di zaman orba itu? Aku harus bersaing dengan …uh… anak-anak sekolah, ibu-ibu, dan parahnya lagi dengan nenek-nenek. Gak level, kan? Siapakah pemuda itu, sampai diperebutkan banyak orang? Enak banget lho “menaiki” pemuda ini, apalagi sambil merem-melek gitu. Eit….jangan ngeres dulu ya!!!! Ini juga bukan kisah “cinlok” yang sering terjadi saat KKN. Ini kisah tentang suka duka naik angkutan umum di Yogyakarta. Kebetulan ada bis yang namanya Pemuda. Mungkin yang punya armada ini, mengharapkan bisnya laris manis, laiknya pemuda dikejar-kejar gadis.
Waktu kita naik Pemuda dari Godean ke kota di pagi hari, hati terasa tentram dan damai. Kita enggak bakal cuma duduk dan diam terpaku. Wak-wek-wak-wek, suara bebek-bebek apa ayam-ayam pada ribut di bawah kursi, plus bonus bau-bau gitu deh. Sapa dan canda juga keluar dari mulut-mulut ompong. Ternyata mereka saling kenal, layaknya sebuah keluarga besar, begitu akrab. Plus musik campur sari yang meriah, makin lengkap sudah rasanya. Pernah lho, begitu aku masuk, tolah-toleh cari kursi. Tiba-tiba seorang perempuan tua melambaikan tangan, “ Sini Nak, duduk sini!”. Enak kan, serasa cucu yang dirindukan eyangnya? Sambil cerita si eyang, sebentar-bentar berdiri, takut kebablasan. Begitu mau turun, si eyang ini kok malah berdiri trus duduk lagi, begitu seterusnya, enggak melangkah-langkah, wajahnya kelihatan panik. Ternyata… oh…ternyata maafkan aku eyang, roknya yang lebar dengan santainya kududuki. Habisan kami tadi tukaran posisi sih, karena sempit aku yang berdiri dan melangkah, si eyang tinggal menggeser pantatnya.
Sayang suasana kekeluargaan yang susah kudapatkan di jaman modern ini, ada yang menodai. Siapa lagi kalo bukan karena ulah seorang mas-mas. Titik-titik kadang menyatu menjadi garis. Ya itulah kehidupan. Aneh bin ajaib, sekarang aku tinggal di Godean, dekat tempatku KKN dulu. Mau tidak mau karena waktu itu aku belum berani naik motor, pemudalah dambaan hatiku. Suatu sore saat aku naik, bis lagi sepi penumpang. Aku duduk di baris kedua di seberang sopir. Aku enggak mau duduk di belakang sopir, karena sopirnya merokok. Aku duduk sendiri sambil melamun. Pas ada satu orang ibu naik, mas-mas yang duduk di belakang sopir pindah ke sampingku dan mempersilahkan si ibu itu duduk di kursinya. Aku merasa aneh kok mau-maunya dia pindah, tapi cuek saja. Karena capai aku tidak terlalu ramah dengan sebelahku. Tiba-tiba aku merasa ada yang bergerak-gerak di atas perutku. Spontan kuangkat tas yang kupangku, tangan mas-mas itu oh….coba-coba mengerayangi akyu….eh salah tasku. Spontan kupegang krahnya, trus kutanya dengan nada tinggi dan bergetar,” Copet ya….copet ya?” Mas-mas yang berwajah lugu dan ndeso itu jelas-jelas mengelengkan kepalanya. “ Hayo ngaku saja Mas?” “Mboten-mboten Bu”. Akhirnya kulepaskan krahnya. Sesaat kemudian mas-mas itu pindah kursi di belakang. Mungkin syock dan takut sama reaksiku ya? Aku mulai melihat ritsliting tasku, oh masih tertutup. Aku cek dompet, HP, dan amplop-amplop…syukur deh masih ada. Sampai di rumah langsung kucek lagi. Aku takut uang arisan temanku hilang. Aku kok ya terlalu baik hati, temanku yang dapat arisan dah pulang, karena aku pegang arisan, uang itu kubawa pulang. Setelah kuhitung-hitung lagi, kok semuanya utuh. Aku mulai ragu-ragu tadi itu copet beneran pa bukan ya? Kok aku berani-beraninya pegang krahnya segala? Namanya juga spontan mempertahankan diri, dan dari dulu aku memang dah sebel banget sama makluk yang namanya copet. Mereka malas kerja, maunya dapat uang cepat. Hanya mikirin perutnya, gak mikirin orang lain. Coba kalo keluarganya dicopet, sedih dan marah juga, kan? Untung aku gak diapa-apain ya, coba kalo si mase bawa senjata. Makasih ya Tuhan, aku masih Kau lindungi. Anehnya si sopir dan kernet kok gak dengar dan liat adegan heroik tadi ya?
Dulu pas mau nikah, aku dan calon suamiku naik Pemuda dari Gejayan. Karena bis penuh penumpang, calon suamiku berdiri di belakang karena terdesak penumpang yang baru masuk. Aku lebih suka berdiri di dekat pintu, biar turunnya cepet. Aku sudah curiga dengan laki-laki muda yang bawa amplop coklat besar layaknya mau nglamar pekerjaan. Anehnya dia hilir mudik saja, gak bisa diam di tempat, lebih-lebih pas ada penumpang mau turun, dia cepet-cepet menuju ke pintu. Suatu saat ada mahasiswa mau turun di Bundaran UGM, laki-laki itu dengan sigap mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan menutupi aksinya dengan amplopnya. Tanpa berpikir panjang, secepat kilat, mak set…kertas yang diambil copet itu kurebut dan kukasihkan pada si empunya. Si mahasiswa itu bingung, belum sadar kehilangan sesuatu. Wuih… ternyata gerakan tanganku gesit juga ya lebih cepat daripada si copet? Jangan-jangan aku juga berbakat? Amit-amit deh. Si copet langsung marah-marah padaku, aku sudah lupa apa kata-kataku saat itu tuk mempertahankan diri. Yang jelas calon suamiku langsung ke depan karena mendengar aku ribut dengan seseorang. Karena bis pas berhenti, langsung kutarik Masku turun. Si copet juga ikutan turun. Wah, bahaya nih kalo kami diapa-apain. Aku langsung masuk Supermarket Mirota Kampus dan menyelinap di antara orang-orang. Setelah yakin tidak dikuntit lagi, dengan perasaan campur aduk dan bibir bergetar kujelaskan dengan terbata-bata kejadian tadi ke calon suamiku. “O alah, ngono to, kok nekat koe, untung gak diapak-apake”, sambil ngomong begitu Masku mengacak-ngacak rambutku. Mungkin dalam hatinya berpikir, “Untung-untung selamat, wah cilaka 13 kalo gak jadi nikah”. Semangatku membeli sprei untuk pernikahan kami melayang sudah. Tanganku sih memilih-milih sprei tapi kejadian tadi terus membayangiku. Wuih, meski takutku muncul terlambat tapi aku tidak menyesal. Aku merasa sudah melakukan yang terbaik. Jujur sampai saat ini aku tidak tahu apakah kertas itu sesungguhnya penting untuk si mahasiswa atau enggak. Apa si copet tadi sebetulnya malu ya sama aku karena salah sasaran, bukannya uang yang didapat tapi cuma kertas.
Yang lebih heboh lagi, pengalaman temenku si Keke. Dulu pas jamannya HP masih baru dan mahal-mahalnya, juga enggak semua orang bisa punya HP, Si Keke dah bisa menenteng-nenteng HP ke mana-mana. Pas naik bis ke Malioboro, HP Keke dicopet sama pemuda yang mefet terus di belakangnya. Si Keke tau banget aksi pencopet itu. Pencopet langsung cepat-cepat turun dari bis. Si Keke juga turun. Si copet cepat-copet menyetop bis, si Keke juga ikutan naik. Selama menguntiti copet, si Keke dengan lugu, menghiba-hiba kepada copet tuk mengembalikan HPnya. Entah karena kasihan dan gak tega melihat wajah Keke yang memelas setengah mau menangis, akhirnya HP itu dikembalikan oleh pemuda itu. Langsung saja wajah Keke berubah 180˚, sumringah dan senyumnya merekah.
Parah lagi pas awal aku kuliah di Jogya tahun 1988. Waktu itu, bis yang dari Semarang berhenti di Borobudur Plaza. Mak byuk mahasiswa yang baru mudik pada turun. Tentu saja, selain bawa tas, kebanyakan bawa dus juga. Entah isinya beras , apa masakan ibu, atau juga buku-buku. Karena harus cepat-cepat turun, dan konsentrasinya terbagi dengan bawaannya. Si copet dengan bebas beraksi. Pernah aku liat, pemuda gempal yang aneh. Begitu turun, naik lagi, begitu berulang kali. Ternyata dia, mencoba melawan arus dan tangannya gesit menggerangi saku-saku atau tas-tas penumpang.
Nah, kita pasti sedih, denger temen kos kita menjerit histeris dan menangis meraung-raung, karena uang jatah sebulan pa uang tuk bayar kuliah hilang, disikat copet. Kita juga tidak tega, melihat seraut wajah tua tiba-tiba berubah menjadi kelam dan muram. Uang pensiun yang mau dibelanjakan untuk kebutuhan 1 bulan berpindah tangan. Kita juga tidak ingin turis-turis lokal yang berkunjung di Jogja mendapat sambutan yang kurang enak gara kecopetan, kan?
Bener gak sih? Si sopir dan kenek kecipratan rejeki alias dapat tips dari pencopet? Makanya mereka diam tak beraksi? Bener enggak sih si pencopet punya kesaktian dan kekebalan? Dipukuli rame enggak apa-apa?Aku tidak mau berandai-andai, aku mau kita berhitung. Masak sih 1-2 copet tak bisa dilumpuhkan orang 1 bis? Kita sebagai penumpang dan juga Pak Sopir dan Mas Kernet harus punya keberanian. Kompak untuk melawan tindak kriminal. Jangan biarkan copet beraksi di bis. Kadang kita sama-sama lihat tetapi diam saja. Mungkin pada takut dan parahnya lagi karena cuek, tidak peduli dengan orang lain. Coba kalo 1 orang bilang copet, trus yang lain juga bilang “copet…copet…”. Trus si copet ditangkap rame-rame. Bisa juga si kenek mengkode sopir kalo ada copet di bisnya, dan sopir bisa mengarahkan ke pos polisi terdekat. Tentu saja, si Pak Polisi juga harus gesit dan mau memprosesnya bukannya melepas dan menjalin kerja sama. Apalagi sekarang jaman lebih modern, foto saja saat si copet sedang beraksi pake HP, syukur-syukur difoto wajahnya. Trus pasang tuh foto copet di bis, biar mereka malu dan kapok. Mereka enggak mau kan wajahnya dikenal ma tetangganya, pa anaknya, pa pacarnya? Ehm…kalo dipasang di Facebook mungkin enggak ya? Siapa tau copetnya gaul mereka juga facebookan. Nah kalo begitu, kita akan melihat para pensiunan tertawa riang, saat sang cucu mendapat oleh-oleh es krim atau mainan dari sang eyang.
CATATAN : Kisahku dengan copet dan curhatan lainnya dapat dibaca di Buku Curhat Jalan Raya yang diterbitkan oleh Leutika (http://www.leutikabooks.com/index.php)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar