
Aroma
empal gentong di pesta pernikahan temanku menggoda hidungku. Lontong
dan irisan daging sapi membuat mataku hanya tertuju pada kuah yang
mengepul. Saat kutoleh Mbak-Mbak yang jaga gubug, rasanya aku mengenal
senyumnya. Ah gara-gara kuah empal gendong ingatanku jadi menguap,
sampai-sampai aku lupa pernah ketemu di mana. “Bu Gun ya?” Lho kok aku
lumayan terkenal ya? O Allah Gusti, ternyata Mbak Ana, muridku di
Tukangan. Mangkuk empal gentong segera kutaruh. Seneng rasanya ketemu
kenalan lama. Mbak Ana nunjuk-nunjuk gubug bakso, Mbakku yang jaga
katanya. Cepat-cepat empal gentong kulahap trus ke gubug bakso.
Ternyata Mbaknya Mbak Ana langsung tersenyum lebar begitu melihatku.
Beliau bercerita kalau sekarang sedang sibuk terima orderan alat peraga
berbahan flannel dari sebuah lembaga pendidikan. “Makasih ya Bu Gun,
berkat Bu Gun sekarang kami mendapat banyak pesanan.” Oh ternyata
beberapa muridku bergabung dan menerima orderan. Terharu campur senang
mendengar kabar membahagiakan. Murid-muridku ternyata lebih gesit
daripada gurunya. Rasanya gak sia-sia usahaku dulu. Setiap Kamis malam
sepulang kerja aku pergi ke toko tuk beli bahan dan alat jahit. Jumat
malam aku jahit 1 kreasi flanel dan kubuatkan polanya. Paginya aku
bagi-bagi bahan dan alat dalam beberapa kelompok. Trus Sabtu sore aku
fotokopi pola dan langsung berangkat ke Tukangan.

Awalnya
aku yang baru belajar naik Mio terkaget-kaget. Mas Agus dari Rumah Zakat
yang mengadakan dan mendanai program pelatihan flannel mengantarkan aku
ke tempat pelatihan. Aku yang belum pernah masuk Kampung Tukangan,
sempat kehilangan jejak Mas Agus. Aku harus ngerem ngegas masuk gang
kecil dan naik turun. Saat aku bingung di pertigaan, Mas Agus muncul dan
panggil-panggil aku dari tanjakan. Jujur aku rada takut dan berdoa
dalam hati, aku harus berani naik tanjakan dalam keadaan hujan
rintik-rintik. Aku nggak sempat mikir bagaimana turunnya nanti. Wah,
ternyata kalau kepepet gini jadi berani ya.
Pernah sesaat
aku pulang dari mengantar bahan dan mengambil “bindut” dari Tukangan,
hujan turun dengan deras, pake angin dan petir lagi. Aku sempat mau
berhenti tapi Adis, anakku malah menikmati dan bilang, “Gak pa-pa Buk,
terus saja.” Aku gak mau gantungan mobil bintang-bintang gendut projek
pertama muridku basah. Wah, yang lain pada “anget-angetan” di dalam
rumah dan ngumpul bersama suami tapi aku berbasah-basah ria berdua.
Supaya hati gak melo, kubayangkan saja senyum ibu-ibu pada mengembang
saat mereka bisa membeli susu atau lauk untuk anaknya dengan terima
orderan kreasi flannel.
Dulu
kalau satu dua orang muridku tidak nampak, ibu-ibu yang lain kompak
menjawab, “Lagi PY, Bu Gun”. Awalnya aku enggak ngeh. Ternyata PY
artinya payu. Mereka sering diajak bergabung sama perusahaan catering
untuk jaga gubug. Mbak Parini muridku yang paling lucu dan paling ramai,
pernah bilang, dinamai Kampung Tukangan, ya karena orangnya gesit
menangkap peluang alias bermental tukang. Oh ya bener juga ya. Kata
ibu-ibu pernah kejadian pas ada kesiprahan pas pada PY, sepi pelayat
jadinya.

Eh sekarang aku bertemu Mbak Anna pas PY dengan
berita membahagiakan. Adis juga happy, jumlah baksonya jadi lebih
banyak. Mungkin mentalitasku lebih sebagai guru bukan pengusaha kali ya.
Aku sangat menikmati saat bisa berbagi keterampilan, menjadikan muridku
dari yang belum tahu menjadi pintar. Ah….sekarang saatnya aku belajar
dari mereka bagaimana bisa gesit menangkap peluang. Terima kasih Mbak
Ana, Mbak Nur, Mas Agung, Mas Trisno (Rumah Zakat Indonesia), ibu-ibu
dan anak-anak, terima kasih Tuhan, pasti Engkau yang mengatur perjumpaan
ini. Aku memang lagi berencana akan mencari murid-murid baru lagi.
Siapa mau gabung?
Ungkapan hati pada dini hari 3-4-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar