Minggu, 06 September 2015

SEBUAH PERJUMPAAN DI GUBUG EMPAL GENTONG




Aroma empal gentong di pesta pernikahan temanku menggoda hidungku. Lontong dan irisan daging sapi membuat mataku hanya tertuju pada kuah yang mengepul.  Saat kutoleh Mbak-Mbak yang jaga gubug,  rasanya aku mengenal senyumnya. Ah gara-gara kuah empal gendong  ingatanku jadi menguap, sampai-sampai aku lupa pernah ketemu di mana. “Bu Gun ya?” Lho kok aku lumayan terkenal ya? O Allah Gusti, ternyata Mbak Ana, muridku di Tukangan. Mangkuk empal gentong segera kutaruh. Seneng rasanya ketemu kenalan lama. Mbak Ana nunjuk-nunjuk gubug bakso, Mbakku yang jaga katanya. Cepat-cepat empal gentong kulahap trus  ke gubug bakso. Ternyata Mbaknya Mbak Ana langsung tersenyum lebar begitu melihatku. Beliau bercerita kalau sekarang sedang sibuk terima orderan alat peraga berbahan flannel dari sebuah lembaga pendidikan. “Makasih ya Bu Gun, berkat Bu Gun sekarang kami mendapat banyak pesanan.” Oh ternyata beberapa muridku bergabung dan menerima orderan. Terharu campur senang mendengar kabar membahagiakan. Murid-muridku ternyata lebih gesit daripada gurunya. Rasanya gak sia-sia usahaku dulu. Setiap Kamis malam sepulang kerja aku pergi ke toko tuk beli bahan dan alat jahit. Jumat malam aku jahit 1 kreasi flanel dan kubuatkan polanya. Paginya aku bagi-bagi bahan dan alat dalam beberapa kelompok. Trus Sabtu sore aku fotokopi pola dan langsung berangkat ke Tukangan.



Awalnya aku yang baru belajar naik Mio terkaget-kaget. Mas Agus dari Rumah Zakat yang mengadakan dan mendanai program pelatihan flannel mengantarkan aku ke tempat pelatihan. Aku yang belum pernah masuk Kampung Tukangan, sempat kehilangan jejak Mas Agus. Aku harus ngerem ngegas masuk gang kecil dan naik turun. Saat aku bingung di pertigaan, Mas Agus muncul dan panggil-panggil aku dari tanjakan. Jujur aku rada takut dan berdoa dalam hati, aku harus berani naik tanjakan dalam keadaan hujan rintik-rintik. Aku nggak sempat mikir bagaimana turunnya nanti. Wah, ternyata kalau kepepet gini jadi berani ya.

Pernah sesaat aku pulang dari mengantar bahan dan mengambil “bindut” dari Tukangan, hujan turun dengan deras, pake angin dan petir lagi. Aku sempat mau berhenti tapi Adis, anakku malah menikmati dan bilang, “Gak pa-pa Buk, terus saja.” Aku gak mau gantungan mobil bintang-bintang gendut projek pertama muridku basah. Wah, yang lain pada “anget-angetan” di dalam rumah dan ngumpul bersama suami tapi aku berbasah-basah ria berdua. Supaya hati gak melo, kubayangkan saja senyum ibu-ibu pada mengembang saat mereka bisa membeli susu atau lauk untuk anaknya dengan terima orderan kreasi flannel.                      

Dulu kalau satu dua orang muridku tidak nampak, ibu-ibu yang lain kompak menjawab, “Lagi PY, Bu Gun”. Awalnya aku enggak ngeh. Ternyata PY artinya payu. Mereka sering diajak bergabung sama perusahaan catering untuk jaga gubug. Mbak Parini muridku yang paling lucu dan paling ramai,  pernah bilang,  dinamai Kampung Tukangan, ya karena orangnya gesit menangkap peluang alias bermental tukang. Oh ya bener juga ya. Kata ibu-ibu pernah kejadian pas ada kesiprahan pas pada PY, sepi pelayat jadinya.



Eh sekarang aku bertemu Mbak Anna pas PY dengan berita membahagiakan. Adis juga happy, jumlah baksonya jadi lebih banyak. Mungkin mentalitasku lebih sebagai guru bukan pengusaha kali ya. Aku sangat menikmati saat bisa berbagi keterampilan, menjadikan muridku dari yang belum tahu menjadi pintar. Ah….sekarang saatnya aku belajar dari mereka bagaimana bisa gesit menangkap peluang. Terima kasih Mbak Ana, Mbak Nur, Mas Agung, Mas Trisno (Rumah Zakat Indonesia), ibu-ibu dan anak-anak, terima kasih Tuhan, pasti Engkau yang mengatur perjumpaan ini. Aku memang lagi berencana akan mencari murid-murid baru lagi. Siapa mau gabung?

Ungkapan hati pada dini hari 3-4-2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar