Minggu, 06 September 2015

ILALANG





Ilalang, namamu indah meski tak setenar bintang. Aku ditakdirkan jatuh cinta padamu saat kau berayun-ayun dicumbu sang bayu. Lentur tubuhmu bak penari balet, mengundang sejuta pesona. Saat temaram senja mulai menjelma dan mentari kan beranjak pulang, bayang-bayang tubuh hitammu berjajar memagar bumi.

TIDAK BISA MENDENGAR BUKAN BERARTI TIDAK BISA BERBICARA


Saat aku membaca Kisah Pin Sudiraharti di Sosok Kompas hari ini Senin, 6 Oktober 2014, yang berjudul “Menggetarkan Pita Suara untuk Meraih Mimpi”, kejadian tahun 1982-1985 kembali menari-nari dalam ingatanku lagi. Saat itu aku masih menjadi remaja imut-imut yang duduk di bangku SMP Bhakti Mulia Wonosobo.Kok mirip ya dengan nama SLB Prima Bhakti Mulya Cimahi yang didirikan Ibu Pin. Beliau ternyata pernah juga menjadi pengajar selama 5 tahun di SLB Don Bosco Wonosobo.

Aku jadi ingat Wilma dan Liliana, aaah….yang dua teman lainnya kok aku lupa tapi aku masih ingat wajah dan senyum mereka semua… Kayaknya Susi deh dan satu lagi kakak kelas yang rumahnya dekat RSJ Magelang. Hayo ada yang mau bantu aku? Maklum banget karena kenangan itu udah hampir 30 tahun lewat. Wilma, gadis hitam manis, berambut keriting, berasal dari Jakarta. Nah, Liliana ini dari Batang. Orangnya agak gemuk, kelihatannya suka makan. Hi…Hi… Waktu kelas 1 C, aku enggak sekelas dengan mereka. Nah pas naik kelas 2 B, aku sekelas dengan Liliana, bahkan sebangku. Entah kenapa ya, apa karena guru yang mengatur atau kami pilih sendiri.

Nah, apa hubungan antara Ibu Pin dengan Liliana dan Wilma….Liliana dan Wilma adalah teman yang sangat spesial. Mereka adalah murid-murid dari SLB B Dena Upakara Wonosobo yang punya kesempatan belajar di sekolah umum.Mereka tuna rungu tapi tetap semangat menjalani hidup. Awalnya mungkin mereka malu dan takut. Parahnya lagi kami yang masih ingusan itu suka menggoda mereka dengan kata-kata Jawa, yang membuat mereka ditertawakan banyak orang…. Misal kami bilang, “Kamu elek”. “Apa elek?” . “Elek itu cantik”….Oh Wilma tersenyum malu-malu dan meledaklah tawa kami. Tentu saja Wilma bisa merasakan ada yang aneh dengan tawa kami yang berderai-derai. Kami bisa mengobrol bebas karena kami gak perlu bahasa isyarat. Mereka membaca gerak bibir kami, makanya kalau mau komentar hati-hati ya…. Kami pun mendengar lewat kata yang mereka ucapkan… Ada yang jelas, ada yang kurang, tapi kami mencoba mengerti mereka. SLB B Wonosobo, Cimahi, dan 1 SLB di Jakarta ini menerapkan pendekatan oral murni.

Oh aku bersyukur mereka masih setia dengan pendekatan ini. Kupikir setelah sering lihat ada orang yang mencoba menerjemahkan dengan bahasa isyarat di televisi, itu artinya semua SLB B wajib menerapkan pendekatan ini. Karena dengan membaca bibir mereka bisa berkomunikasi dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Kita pun yang ingin berkomunikasi dengan mereka bisa saja langsung mengobrol tanpa harus bersusah payah belajar bahasa isyarat. Asal pembaca berita di televisi artikulasinya jelas, mereka pasti bisa menangkap isi berita. Kalaupun ada liputan gambar, bisa dibantu dengan running text, atau tulisan yang berjalan di bawahnya.

Liliana meski tuna rungu dan memakai alat bantu dengar, rangkingnya gak kalah sama temanku lainnnya loh, bahkan 10 besar. Suatu saat dia lupa bawa alat bantu dengar. Waktu diterangkan sama Pak Tris guru matematika, dia bingung. Tiba-tiba saja dengan keras sekali dia tanya padaku, “Empat dari mana?” Ger….semua anak di kelas ketawa….Tenang….Lili gak bakal dengar karena kami duduk di bangku depan. Kecuali kalau pada noleh, tentu dia merasa. Mau tidak mau aku dituntut untuk mengerti penjelasan guru. Kalau Liliana gak jelas, otomatis dia minta aku menerangkannya. Ada untungnya juga, aku terpacu untuk lebih pintar dan rajin. Masa sih asisten guru kalah sama muridnya? He..he…

Liliana baik banget sama aku dan teman-teman, suka bawain permen kecil-kecil dan kalau Tahun Baru Cina dia akan bawa kue keranjang. Sesekali mentraktir aku. Pak Widodo guru kesenianku yang lucu pernah bilang, ”Gun duduknya jangan minggir-minggir ya, Liliana kan gemuk, kamu kecil, nanti bangkunya ‘njomplang’ loh.” Ha… ha… bahagianya sekolah di sekolah swasta, gurunya dekat dan bisa gojekan sama muridnya.

Tapi suatu saat aku juga pernah bosan juga duduk di sebelah Liliana terus, aku pengen merasakan duduk sama teman lain. Gantian teman lain jadi asisten guru dong…. Aku tentu saja enggak bisa serta merta  pindah bangku. Aku bilang ke Liliana dulu, “Mengapa?” tanyanya langsung sedkit melotot karena kaget mungkin. Kujelaskan alasannya… Tiba-tiba saja mata dan muka Liliana memerah, hatinya bergejolak, sebentar kemudian berkaca-kaca, dan pecahlah air matanya. Dia segera mengambil tisu dari sakunya. Eh hidungnya juga ikutan pilek mendadak. Wadow… aku tolah-toleh, jujur takut ketahuan guru dan teman lain. Gak tega juga lihat Lili nangis, dia sudah cocok dan tergantung sama aku ternyata. Tiba-tiba saja aku ketawa lihat ingusnya nempel di hidung, karena tisunya gantian untuk mengusap air mata dan ingus. Ha…ha… trus kutepuk-tepuk bahunya sambil bilang, ”Lili, aku tidak jadi pindah.” Mata Liliana langsung berbinar dan senyumnya mengembang. Yah…mungkin waktu itu aku belum berpikir tentang “tepa-tepa” alias jika aku di posisi Lili.Tapi kini aku sadar, keputusanku waktu itu enggak salah, kuikuti kata hatiku.

Sesekali aku dan teman-teman pernah main di SLB B Dena Upakara di Jalan Mangli ke arah permandian alami. Bangunannya kuno, khas bangunan Belanda, jendelanya besar-besar, angin dan sinar matahari berlimpah. Pohon-pohon besar dan taman luas membuat SLB B khusus puteri ini terasa nyaman dan sejuk. Kalau mau tahu tentang SLB ini, klik saja http://slbdenaupakara.blogspot.com/2012/10/sejarah-singkat.html.Tentu saja mereka minta ijin dulu sama Suster PMY, penyelenggaranya kalau kami mau main. Kami lihat kelas dengan cermin besar dan ada guru yang duduk bersama murid kecil. Sang guru menyebut suku kata, kalau gak salah kata  ha. Tangan sang murid memegang leher guru, lalu dia menirukan sambil memegang lehernya sendiri. Mungkin dia merasakan getaran dari suatu suku kata ya, getaran pita suara. Yah ternyata di sinilah awal dari ribuan kata yang akan terucap di kemudian hari, kata yang menjadi daya hidup, sebab dengan kata-kata itu mereka menjadi manusia sosial, yang dibutuhkan dan membutuhkan teman. Mereka bukan mahluk yang hidup di dunianya sendiri. Kami juga melihat ada beberapa anak-anak kecil berdiri berjajar. Guru di depan memukul drum. Kalau guru memukul pelan, murid melambai pelan, tapi kalau guru memukul keras, murid-murid akan melambai dengan cepat pula. Lucu juga ya ternyata cara mengajarnya, karena kalau pendengarannya parah, lambaiannya tidak sama dengan teman lainnya. Bahkan kalau tidak mendengar ada yang tidak melambai sama sekali.

Sebelum pulang, kami sempat menjajal sepatu roda yang pada waktu itu terasa istimewa karena tidak setiap anak punya.  Hi…hi…malu aku. Pas melihat murid-murid berputar-putar di aula yang luas rasanya begitu mudahnya meluncur. Eh begitu kami coba… ups…buk… buk... dengan cepat pula badan kami terhempas ke lantai…. Sampai-sampai hanya untuk berjalan saja kami harus memegangi teralis-teralis jendela aula dengan wajah tegang, takut jatuh. Ha…ha…kasihan deh kami, gantiian kami diketawain sama anak-anak SLB…..

Yah sebetulnya kasihan juga ya, lihat anak-anak masih TK tapi harus terpisah dengan orang tuanya dan tinggal di asrama. Tapi dengar-dengar kalau sudah terlalu besar susah untuk dididik dengan metode oral. Tapi jangan salah, mereka juga dibekali keterampilan loh. Ada yang belajar tataboga, tatabusana, bahkan dulu di SLB B Don Bosco yang khusus putera ada jurusan bikin sepatu dan tenun loh. Mereka juga belajar berenang loh. Aku sama teman-teman pernah ketawa geli, ketika seorang anak tuna rungu putera ikutan lomba renang. Anaknya kecil dan agak coklat, kelihatannya dari Indonesia bagian timur. Anehnya rambutnya gak kelihatan basah, mungkin karena keriting ya, airnya langsung ngalir. Sebelum peluit ditiup dia dah “njebur” duluan. Itu dilakukan berulang-ulang. Akhirnya, tanda start memakai bendera… barulah si anak itu terjun bersamaan.

Suatu saat di tahun 1995an aku bertemu dengan Liliana lagi. Coba kamu tebak,  kenapa bisa? Ya iyalah ternyata Liliana itu kakaknya Lilianti teman kerjaku. Liliana  ikut Lilianti ke kantor…. Ah lucu deh, Liliana sekarang punya toko roti di Batang. Wah, pantas saja Liliana makin ndhut. Seneng melihatnya lagi. Aku lupa dia bilang apa tentang aku, tapi aku ingat senyum Liliana masih sama ketika SMP.

SEBUAH PERJUMPAAN DI GUBUG EMPAL GENTONG




Aroma empal gentong di pesta pernikahan temanku menggoda hidungku. Lontong dan irisan daging sapi membuat mataku hanya tertuju pada kuah yang mengepul.  Saat kutoleh Mbak-Mbak yang jaga gubug,  rasanya aku mengenal senyumnya. Ah gara-gara kuah empal gendong  ingatanku jadi menguap, sampai-sampai aku lupa pernah ketemu di mana. “Bu Gun ya?” Lho kok aku lumayan terkenal ya? O Allah Gusti, ternyata Mbak Ana, muridku di Tukangan. Mangkuk empal gentong segera kutaruh. Seneng rasanya ketemu kenalan lama. Mbak Ana nunjuk-nunjuk gubug bakso, Mbakku yang jaga katanya. Cepat-cepat empal gentong kulahap trus  ke gubug bakso. Ternyata Mbaknya Mbak Ana langsung tersenyum lebar begitu melihatku. Beliau bercerita kalau sekarang sedang sibuk terima orderan alat peraga berbahan flannel dari sebuah lembaga pendidikan. “Makasih ya Bu Gun, berkat Bu Gun sekarang kami mendapat banyak pesanan.” Oh ternyata beberapa muridku bergabung dan menerima orderan. Terharu campur senang mendengar kabar membahagiakan. Murid-muridku ternyata lebih gesit daripada gurunya. Rasanya gak sia-sia usahaku dulu. Setiap Kamis malam sepulang kerja aku pergi ke toko tuk beli bahan dan alat jahit. Jumat malam aku jahit 1 kreasi flanel dan kubuatkan polanya. Paginya aku bagi-bagi bahan dan alat dalam beberapa kelompok. Trus Sabtu sore aku fotokopi pola dan langsung berangkat ke Tukangan.



Awalnya aku yang baru belajar naik Mio terkaget-kaget. Mas Agus dari Rumah Zakat yang mengadakan dan mendanai program pelatihan flannel mengantarkan aku ke tempat pelatihan. Aku yang belum pernah masuk Kampung Tukangan, sempat kehilangan jejak Mas Agus. Aku harus ngerem ngegas masuk gang kecil dan naik turun. Saat aku bingung di pertigaan, Mas Agus muncul dan panggil-panggil aku dari tanjakan. Jujur aku rada takut dan berdoa dalam hati, aku harus berani naik tanjakan dalam keadaan hujan rintik-rintik. Aku nggak sempat mikir bagaimana turunnya nanti. Wah, ternyata kalau kepepet gini jadi berani ya.

Pernah sesaat aku pulang dari mengantar bahan dan mengambil “bindut” dari Tukangan, hujan turun dengan deras, pake angin dan petir lagi. Aku sempat mau berhenti tapi Adis, anakku malah menikmati dan bilang, “Gak pa-pa Buk, terus saja.” Aku gak mau gantungan mobil bintang-bintang gendut projek pertama muridku basah. Wah, yang lain pada “anget-angetan” di dalam rumah dan ngumpul bersama suami tapi aku berbasah-basah ria berdua. Supaya hati gak melo, kubayangkan saja senyum ibu-ibu pada mengembang saat mereka bisa membeli susu atau lauk untuk anaknya dengan terima orderan kreasi flannel.                      

Dulu kalau satu dua orang muridku tidak nampak, ibu-ibu yang lain kompak menjawab, “Lagi PY, Bu Gun”. Awalnya aku enggak ngeh. Ternyata PY artinya payu. Mereka sering diajak bergabung sama perusahaan catering untuk jaga gubug. Mbak Parini muridku yang paling lucu dan paling ramai,  pernah bilang,  dinamai Kampung Tukangan, ya karena orangnya gesit menangkap peluang alias bermental tukang. Oh ya bener juga ya. Kata ibu-ibu pernah kejadian pas ada kesiprahan pas pada PY, sepi pelayat jadinya.



Eh sekarang aku bertemu Mbak Anna pas PY dengan berita membahagiakan. Adis juga happy, jumlah baksonya jadi lebih banyak. Mungkin mentalitasku lebih sebagai guru bukan pengusaha kali ya. Aku sangat menikmati saat bisa berbagi keterampilan, menjadikan muridku dari yang belum tahu menjadi pintar. Ah….sekarang saatnya aku belajar dari mereka bagaimana bisa gesit menangkap peluang. Terima kasih Mbak Ana, Mbak Nur, Mas Agung, Mas Trisno (Rumah Zakat Indonesia), ibu-ibu dan anak-anak, terima kasih Tuhan, pasti Engkau yang mengatur perjumpaan ini. Aku memang lagi berencana akan mencari murid-murid baru lagi. Siapa mau gabung?

Ungkapan hati pada dini hari 3-4-2011

ANTARA KEHIDUPAN DAN KEMATIAN


“ Nguing…nguing…nguing…” . Tanpa dikomando, kami berlompatan dari tempat tidur. Aku lari dengan terhuyung-huyung, rasanya mataku belum “melek” beneran dan dadaku berdebar-debar karena kaget . Seperti anak-anak kecil, aku, ibuku, dan anakku Adisti, menyibak korden dan mengintip dengan rasa ingin tahu. Rombongan mobil jenasah, mobil, dan truk penuh dengan orang-orang berbaju hitam melintas dengan cepat di depan rumah adikku di Makale. O alah Itu to… rombongan keluarga penjemput orang Toraja yang meninggal di kota lain, memasuki kota. Mereka selalu ingin dikubur di tanah leluhurnya. Untungnya , tadi kami tidak “kesrimpet” selimut atau ketatap pintu, karena tidak ingin melewatkan satu momen spesial. Itulah pagi pertamaku di Toraja.



Toraja aku datang….. Bener enggak seh segala cerita unik tentang kuburan, alam yang indah, dan rumah adat yang eksotik ada di dunia nyata? Jangan-jangan cuma cerita masa lalu saja dan hanya ada di foto-foto belaka?





Kalau kamu penakut, janganlah tinggal di Toraja. Jantungmu akan sering berhenti berdetak. Saat mobil yang kutumpangi melintas di belokan, tiba-tiba aku tertegun. Di atas batu besar yang teronggok di sawah, duduklah di kursi seorang laki-laki dengan baju tradisional lengkap dengan ikat kepalanya. Layaknya sedang menonton pertandingan sepak bola di tv, kakinya yang kanan dengan santai disilangkan di atas kaki kirinya. Jangan coba-coba kamu mengajaknya berbicara, pasti tak kan pernah keluar kata-kata dari mulutnya. Jangan pula pura-pura meminjam rokok yang sedang disedotnya. Ehm…tak ada lagi cahaya kehidupan di matanya. Ya temtu saja, jasad laki-laki itu telah bersemayam dengan tenang di dalam batu besar itu. Loh, lalu yang sedang duduk tadi siapa? Hi….hi….pasti hantunya? Bukan. Penjaga setianya? Oh tentu bukan. Itu cuma patungnya doang. Ih sukses deh, tertipu akyu. Sayang gak sempat kufoto.

Ya….ternyata tidak semua orang Toraja yang meninggal dikubur di tebing-tebing batu yang sangat tinggi. Mereka dengan bebas mengubur kerabatnya di mana-mana. Bener-bener gak beraturan, di mana-mana kuburan. Batu-batu besar dilubangi dari samping, supaya peti bisa dimasukkan. Ada juga yang membuat Patani (mbaca Patane), sebuah rumah kecil di kebun atau di pekarangan dekat rumah. Mereka menumpuk saja beberapa peti di situ. Ada Patani yang sangat indah, dicat warna-warni atau di depannya dihiasi etalase yang berisi patung seorang laki-laki dengan pakaian kebesaran. Ada juga Patani yang sederhana yang dibangun dari batu.



Saat aku keluar dari gua tempat tulang-belulang berserakan, aku sempatkan melihat papan duka cita yang dihiasi bunga plastik yang mulai memudar warnanya. Kuamati beberapa huruf dari gabus yang mulai dicemari lumpur. Lho kok fotonya gak cocok dengan kata-katanya? Gak salah nih mataku? Kudekatkan kepalaku tuk membaca lagi. Di situ terpampang foto seorang laki-laki tua. Aku mau ketawa tapi takut. Selamat jalan Bapak/Nenek kami, bla….bla….Wah ternyata tak ada panggilan kakek di Toraja, adanya ya nenek laki-laki. Kok bisa ya? Ada yang tahu? Kepo deh aku. Tapi kalo tulang-tulang berserakan di lantai gua dan enggak dikembalikan lagi ke tempatnya, aku dapat bocorannya. Ternyata untuk mengembalikan tulang itu, perlu upacara khusus yang berbiaya besar. Jadi, kalo belum ada uang ya biarkan saja tulang-tulang itu berserakan, seperti puisinya Chairil Anwar.


Ternyata meski kuburan ada di mana-mana, kesan horor tidak selalu melekat. Kematian tak lantas memisahkan dua kehidupan. Tetap saja mereka terasa ada dan dekat di mata, walau hanya berupa foto yang tergantung ataupun patung. Mereka menjadi saksi bisu kehidupan nyata yang terus berdenyut.

Sepenggal cerita yang tercecer dari negeri di awan, 23-28 Mei 2008

BUAYA OH...BUAYA

Syahdan… pada hari Sabtu pagi yang cerah, kami bertujuh menyewa mobil kijang dari Sangata, tuk menjelajah Taman Nasional Kutai (TNK) di Bontang, Kaltim. Bener gak ya namanya?  Jalan panggung berkelok-kelok dari kayu ulin yang berjajar rapi menyambut kami, keren abis, bener-bener alami.  Baru saja  kami mau melangkah, tiba-tiba seekor ular nylonong memotong langkah kami. Untung hanya seekor ular kecil, tapi hatiku dag-dig-dug juga sih. Belum-belum sudah disambut si penghuni hutan, bagaimana yang di dalam ya, jangan-jangan kami ketemu emaknya? Siapa tahu yang tadi si anak ular yang hilang. Hi…hi…hi….




Kami berjalan sambil ketawa-tiwi. Jadi ingat minggu-minggu pertama aku datang. Mbak Elis, temanku di senior camp bilang padaku: “Makan sudah.“ Sedikit bingung kujawab, “Belum.” O alah… jebule artinya makanlah, tak kira tanya, sudah makan belum? Memang waktu itu di hadapan kami, ada pisang goreng yang dicocol sambal, yang menurut bayanganku jadi aneh gitu rasanya. Mbak Elis dan Mbak Betty yang mendengar jawabanku, langsung ketawa lebar….Habis nadanya meninggi sih seperti mau bertanya.  

Tanaman temu lawak tumbuh subur dan terlihat sangat bongsor, lebih tinggi dariku. Semut-semut hutan hitam besar berbaris rapi di atas pohon yang tumbang dan lapuk. Amit-amit deh jangan sampai kita menginjak mereka, gigitannya mengagetkan dan sakitnya gak langsung ilang. Nut….senut…senut…lebih payah daripada cintanya Smash yang cenat-cenut. Aku pernah gaya-gaya berfoto bersama teman-teman di rerumputan di bawah cemara. Tau-tau mak cekot….opo iki. Sampai-sampai aku lari pontang-panting dan sandalku terlempar. Ah mau gaya malah kena malu, ada bosku lagi. Ya iyalah secara si semut kan cuma mau mempertahankan diri. Masak mau mati sih gara-gara orang bergaya di depan kamera.

Di tengah perjalanan ada rumah pohon. Untuk sampai di atas, ada tangga kayu yang menempel di batang pohon. Entahlah aku tak berani mencoba naik. Habis tinggi banget. Kulihat temanku yang cowok mencoba sampai di atas. Hebat…hebat… Kalau badanku sehat pasti tak kulewatkan kesempatan itu. Lha aku baru saja hampir pingsan, entah karena sudah lama gak pernah olah raga atau karena aku nonton film di HBO sampai malam banget.

Ehm… saat kulewati jembatan yang kayunya pada lepas-lepas aku ndak begitu tegang karena aku masih bisa melompat dan berpegangan. Tapi saat melihat jembatan yang gak ada kayunya sedikitpun, hatiku berdebar-debar banget. Hanya ada tiga kawat, satu diinjak, dua untuk pegangan. Lagian jarak antar pegangan berjauhan. Mati aku, segera saja cerita tentang buaya gede-gede penghuni sungai Kalimantan yang terkenal suka makan orang memenuhi otakku. Kalau saja aku tau medannya begini, pasti kuurungkan niatku menjelajah hutan. Kupikir semua teman-temanku sama shocknya dengan diriku, tak terkecuali para cowok. Bisa-bisa aku tak bisa pulang dan tinggal nama….Tapi kalau mau balik lagi, wuih ndak mungkin karena jauh banget. Mau nanya, juga nanya siapa coba, wong di tengah hutan, gak ada orang yang bisa ditanyai jalan alternatif.


Akhirnya, kami memutuskan untuk menyeberang satu per satu. Saya lupa apa alasan pastinya. Apakah kalau berdua, jembatan tidak kuat dan bisa-bisa malah putus? Ataukah kalau berdua atau bertiga malah goyang-goyang? Waktu tiba giliranku, aku berdoa kepada Tuhan, sungguh-sungguh memohon kekuatan dan keselamatan. Sandal kumasukkan ke dalam tas yang kugantungkan di leher. Awalnya aku melangkah dengan tenang, begitu melihat air coklat yang mengalir pelan dan gak bisa ditebak dalamnya,  hatiku mulai berdebar-debar, tangan berkeringat dingin, dan jembatan menjadi bergoyang-goyang kencang…. Tiba-tiba aku begitu panik. Seumur-umur baru kali itu kurasakan takut luar biasa. Pasti mukaku pucat pasi. Kalau keningku terluka, darahku sudah berubah putih semua…. Teman-temanku yang sudah sampai maupun yang belum dapat giliran, berteriak pada menyemangati. “Ayo….Mbak, Mbak Gun pasti bisa,” begitu teriak Woro. Setelah bernafas pelan-pelan kulangkahkan kakiku lagi. Eh…. sempat-sempatnya juga aku bergaya tuk berfoto sejenak dan tersenyum semanis-manisnya. Begitu sampai seberang, aku meloncat-loncat riang. Beban seberat gunung lepas sudah. Mungkin jembatannya hanya 20 meter tapi rasanya ratusan meter. Ada temanku cewek yang mau menyeberang, beberapa kali dia berbalik lagi, ragu-ragu dan mau menangis. Untung ada cowok yang baru dikenalnya yang dengan sabar meyakinkannya.

Itulah kekuatan pikiran. Mungkin saja, sebetulnya di sungai itu  ndak ada seekor buaya pun, tapi kami sudah dihantui keyakinan kalau semua sungai di Kalimantan pasti ada buayanya. Aku jadi membayangkan mata si buaya awas memelototi gerak-gerik kami dan siap-siap membuka mulutnya dengan lebar tuk menangkap bila tubuh kami terjatuh…. Tapi kami gak kepikiran tuk membuktikan, mungkin dengan melempar-lempar batu, tuk tau ada buaya atau tidak. Ah sudahlah…tak usah mengusik mereka.

Uh….begitu keluar hutan. Legalah hati kami. Mungkin gak banyak yang bisa dilihat seh, cuma ada beberapa binatang di tanah yang belum pernah kulihat di tanah Jawa. Untung kami juga gak ketemu si emaknya atau neneknya ular. Tapi, hari itu aku merasa menjadi lebih bersyukur, masih diberi kesempatan tuk hidup. Bersyukur, punya teman-teman yang bisa saling mendukung saat kami menghadapi kesulitan bersama. Bersyukur kami tidak kehujanan di hutan. Kami juga harus memperhatikan safety, bawa talilah, obat-obatan,  peta, dll. Ikan bakar di kampung laut di Bontang sore itu jadi terasa sangat nikmat, senikmat anugerah Tuhan.

Ya dalam hidup ini kadang kita melewati jalan yang terjal dan berliku yang tidak kita bayangkan sebelumnya, mak bedunduk sudah di depan mata,  mau tidak mau harus kita lewati. Kalau tidak kita jalani, sama juga kita berjalan mundur. Ada kalanya kita muter-muter, mencoba jalan lain, tapi akhirnya kembali ke jalan yang sama. Manusiawi sekali kalau kita ragu-ragu dan takut salah mengambil keputusan. Tapi, kadang ketakutan itu yang membuat kaki kita berat untuk melangkah. Akhirnya kita tersadar, masalah terasa berat atau ringan itu lebih bergantung pada bagaimana cara kita memandangnya. Kita bisa memilih, itu menjadi masalah atau bukan masalah. Ada seseorang yang mendapat masalah kecil tapi stresnya minta ampyun. Lha iyalah, karena trus gak bisa mikir cari solusinya. Di sisi lain ada yang punya masalah berat, tapi santai-santai saja, karena dia berpikir ada orang lain yang masalahnya lebih besar. Mungkin saat kita berani menjalani, kita menjadi plong. Ya anggap saja kita sedang menjalani ujian hidup. Kalau mau lulus, kita harus menyatukan rasa dan pikiran. Mungkin Tuhan punya rencana indah di balik semuanya.
                                                      
Andai aku tidak membayangkan ada buaya di dalam sungai, mungkin aku bisa berjalan santai di jembatan gantung. Ah siapa tau yang dredegnya minta ampyun ya… cuma akyu seorang. Hem… masa-masa indah 8 th yang lalu… bersama Mbak Puput, Keke, Woro, Siti, dan maaf yang cowok kok lupa sak plengan.

Pebruari-Mei 2003




PAYAU

Kata payau tentu tidak terlalu asing bagi telinga kita. Akan tetapi, payau yang ini bukan payau yang kita kenal sebagai campuran air sungai dan laut di pantai, bukan pula hutan yang ada di pantai. 

Payau yang ini adalah sebutan orang Kalimantan untuk rusa. Mungkin karena mengeluarkan suara piu¡­piu¡­piu, maka dinamailah payau. Sepintas suaranya hampir mirip suara orang lho. Binatang ini hidup di Hutan Kalimantan, yang dewasa tingginya kira-kira 1 meter, beratnya bisa mencapai 60 kiloan, dan badannya berbulu coklat. Harga sekilo daging payau pada tahun 1993 sekitar empat ribu rupiah, sekarang bisa mencapai lima belas ribu rupiah. Lumayan kan kalau sekali berburu dapat 10 sampai 15 payau. Taruhlah dapat 10 payau berarti ada 9 juta di tangan. Eit, tunggu dulu, itu masih dibagi lagi lho, karena biasanya pemburuan dilakukan berkelompok antara 3 sampai 5 orang. Waktu berburunya pun bisa sampai seminggu. Begitu dapat payau, pada hari itu juga langsung mereka bawa ke pasar terdekat. Lalu mereka kembali lagi ke hutan. Kalau sudah dapat 10-15 ekor barulah mereka pulang.

Pengen tahu gimana rasanya berburu payau di Hutan Batu Apar, Bengalon, Kabupaten Kutai Timur? Berikut ini adalah pengalaman Slamet seorang perantau kelahiran Rembang, Jawa Tengah, yang dituturkan kepada penulis. Sebetulnya berburu payau bukanlah cita-citanya. Akan tetapi, sudah lama dia menggangur lantaran tidak punya pekerjaan. Akhirnya, tawaran beberapa pemuda Kutai untuk bercocok tanam di hutan pun diterimanya. Meskipun ada rasa heran dengan istilah "bercocok tanam" tetapi keheranannya dia simpan saja di dalam hati.

Dengan membawa perbekalan seperti beras, mie, dan ikan asin juga peralatan memasak seperti ketel dan ceret berangkatlah mereka ke Batu Ampar. Biasanya mereka pergi ketika musim tumbuhan bersemi karena payau-payau suka makan daun muda. Hutan Batu Ampar pada tahun 90-an masih perawan, pohon-pohonnya lebat dan tinggi. Di dalamnya bisa kita temukan danau dengan air yang sangat bening dan bersih. Begitu sampai di pondok mereka disambut gonggongan beberapa anjing. Itu bukan suatu gonggongan yang menakutkan tetapi ucapan selamat datang bagi tuannya. Mereka bisa membedakan antara tuannya atau bukan. Jadi, jangan coba-coba untuk mencuri anjing-anjing tersebut. Bisa-bisa kita terkena gigitan mautnya. Anjing itu bukan anjing biasa tetapi anjing kampung yang sudah terlatih keahlian berburunya. Harga satu anjing yang bisa diandalkan sekitar 700 ribu rupiah.

Sesudah beristirahat sebentar, segera saja mereka berangkat ke hutan dengan membawa tombak yang batangnya terbuat dari kayu ulin. Kayu khas Kalimantan yang sangat terkenal kuat dan tahan air. Oh, ternyata Slamet diajak berburu payau bukannya bercocok tanam beneran. Begitu mendengar suara piu¡... piu..­. piu... si anjing-anjing itu langsung lari secepat kilat meninggalkan tuan-tuannya. Pemburu itu langsung menyebar ke segala arah untuk mencari anjing mereka. Biasanya anjing-anjing itu ditemukan di sekitar danau, di tempat itu pula biasanya payau yang kelelahan berada. Selain lelah kaki payau pun biasanya luka digigit anjing. payau itu langsung ditombak di bagian jantungnya. Supaya tepat sasaran, tombak diarahkan di bawah leher dan di antara kaki depan. Karena itu, kalau pemburu terlalu lama menemukan mereka, bisa saja payau yang sudah sehat kembali akan melihat kesempatan ini untuk melarikan diri secepatnya. Anjing-anjing itu sudah tidak punya tenaga lagi, jadi begitu lihat air langsung deh mereka minum sepuasnya. payau yang berhasil ditangkap mereka kuliti di hutan lalu mereka pikul untuk dipotongi dan dijual di pasar Bengalon.

Sayangnya si anjing tidak kebagian jatah hasil buruhannya. Bukannya pelit sih, tapi si anjing memang dilarang makan daging payau. Kalau sudah pernah makan, bakalan tidak mau diajak berburu payau lagi. Jadi, si anjing dikondisikan untuk penasaran terus. Sebagai gantinya si anjing dapat daging landak atau babi.

Pertama kali Slamet mendapat payau tidak dengan cara berburu tetapi dengan menjerat. Hasil jeratannya pun hanya seekor anak payau yang kecil. Jeritannya piu... ­piu...­piu¡... yang sangat lemah itu membikin Slamet kasihan dan ingin melepaskan saja si payau kecil itu. Begitu ingat tujuaannya mencari uang niat itu diurungkan lagi dan dia tombak juga payau itu.

Kalau mau memasang jeratan pun harus penuh strategi karena payau sangat tajam penciumannya. Sesudah memasang jeratan, pemburu harus jalan mundur dan tanah yang akan dipijak dialasi daun supaya bau manusia tidak tertinggal di lokasi penjeratan. Binatang yang terjerat akan tergantung di pohon. Karena itu, harus pilih pohon yang kuat, eh siapa tahu dapat payau besar. Tali yang biasanya mereka gunakan adalah nilon.

Pernah suatu saat mereka diserbu dua ekor banteng besar yang marah karena anaknya berhasil dibunuh Slamet. Karuan saja mereka lari terbirit-birit dan memanjat pohon yang terdekat. Banteng itu menyodok-nyodokkan tanduknya dengan kuat ke pohon yang mereka panjat. Untung saja pohon itu cukup besar dan kuat. Setelah setengah hari nangkring di pohon dengan ketakutan, mereka baru ingat petuah tetua Kutai. Mereka langsung mengetuk-ngetuk batang pohon pakai mandau (parang Kalimantan) dengan irama yang tetap tok...­tok..­.tok.... Eh bener saja, banteng-banteng itu lalu gloyor masuk hutan, kemarahan segera saja lenyap entah ke mana. Akhirnya mereka bisa bernafas lega dan turun dari pohon.

Kadang mereka bertemu dengan orang hutan (bukan orangutan lho) yang bajunya masih dari kayu hutan. Langsung saja mereka petik ranting dan menanam kembali ke tanah. Itu sebagai sandi bahwa mereka tidak saling ganggu. Tempat beburunya pun bisa berpindah-pindah. Mereka bisa tidur di atas karung yang digantung 1 meter di atas tanah. Mau tahu caranya buat tempat tidur darurat ? Lubangi kedua ujung karung lalu masukkan tongkat di kiri dan kanannya. Sesudah itu, ikat keempat ujung tongkat dengan kayu yang sudah ditancapkan ke tanah. Cara masaknya pun mirip kalau kita sedang berkemah dengan menggantungkan ketel atau ceret di kayu.

Rasa daging payau mirip daging domba atau kambing. Bagi kaum laki-laki, ada mitos bahwa janin payau bisa dipakai sebagai obat kuat laki-laki. Janin mentah itu dicampur dengan bir lalu diteguk begitu saja.

Nah, kalau Anda suka berpetualang dan menikmati ketegangan yang mengasyikkan, silakan coba bergabung dengan pemuda Kutai yang sampai sekarang masih menekuni kegiatan berburu di hutan bersama anjing-anjing pintar.

oleh-oleh dari Kalimantan Timur th 2003, telah dimuat di http://bulletin.alambahasa.com, 13 Mei 2008

Sabtu, 05 September 2015

MENGEJAR DAN DIKEJAR PEMUDA ….







Saat aku berpapasan dengan pemuda yang satu ini, dada ini serasa berdebar-debar. Entah kenapa kenangan itu masih tertanam kuat dalam benakku, baik itu kenangan manis, lucu, maupun yang menggemaskan. Aku mengenal dan akrab dengan pemuda ini saat aku KKN di Godean. Tau kan, Godean yang dulu sering disebut-sebut di televisi di zaman orba itu? Aku harus bersaing dengan …uh… anak-anak sekolah, ibu-ibu, dan parahnya lagi dengan nenek-nenek. Gak level, kan? Siapakah pemuda itu, sampai diperebutkan banyak orang? Enak banget lho “menaiki” pemuda ini, apalagi sambil merem-melek gitu. Eit….jangan ngeres dulu ya!!!! Ini juga bukan kisah “cinlok” yang sering terjadi saat KKN. Ini kisah tentang suka duka naik angkutan umum di Yogyakarta. Kebetulan ada bis yang namanya Pemuda. Mungkin yang punya armada ini, mengharapkan bisnya laris manis, laiknya pemuda dikejar-kejar gadis. 

Waktu kita naik Pemuda dari Godean ke kota di pagi hari, hati terasa tentram dan damai. Kita enggak bakal cuma duduk dan diam terpaku. Wak-wek-wak-wek, suara bebek-bebek apa ayam-ayam pada ribut di bawah kursi, plus bonus bau-bau gitu deh. Sapa dan canda juga keluar dari mulut-mulut ompong. Ternyata mereka saling kenal, layaknya sebuah keluarga besar, begitu akrab. Plus musik campur sari yang meriah, makin lengkap sudah rasanya. Pernah lho, begitu aku masuk, tolah-toleh cari kursi. Tiba-tiba seorang perempuan tua melambaikan tangan, “ Sini Nak, duduk sini!”. Enak kan, serasa cucu yang dirindukan eyangnya? Sambil cerita si eyang, sebentar-bentar berdiri, takut kebablasan. Begitu mau turun, si eyang ini kok malah berdiri trus duduk lagi, begitu seterusnya, enggak melangkah-langkah, wajahnya kelihatan panik. Ternyata… oh…ternyata maafkan aku eyang, roknya yang lebar dengan santainya kududuki. Habisan kami tadi tukaran posisi sih, karena sempit aku yang berdiri dan melangkah, si eyang tinggal menggeser pantatnya. 

Sayang suasana kekeluargaan yang susah kudapatkan di jaman modern ini, ada yang menodai. Siapa lagi kalo bukan karena ulah seorang mas-mas. Titik-titik kadang menyatu menjadi garis. Ya itulah kehidupan. Aneh bin ajaib, sekarang aku tinggal di Godean, dekat tempatku KKN dulu. Mau tidak mau karena waktu itu aku belum berani naik motor, pemudalah dambaan hatiku. Suatu sore saat aku naik, bis lagi sepi penumpang. Aku duduk di baris kedua di seberang sopir. Aku enggak mau duduk di belakang sopir, karena sopirnya merokok. Aku duduk sendiri sambil melamun. Pas ada satu orang ibu naik, mas-mas yang duduk di belakang sopir pindah ke sampingku dan mempersilahkan si ibu itu duduk di kursinya. Aku merasa aneh kok mau-maunya dia pindah, tapi cuek saja. Karena capai aku tidak terlalu ramah dengan sebelahku. Tiba-tiba aku merasa ada yang bergerak-gerak di atas perutku. Spontan kuangkat tas yang kupangku, tangan mas-mas itu oh….coba-coba mengerayangi akyu….eh salah tasku. Spontan kupegang krahnya, trus kutanya dengan nada tinggi dan bergetar,” Copet ya….copet ya?” Mas-mas yang berwajah lugu dan ndeso itu jelas-jelas mengelengkan kepalanya. “ Hayo ngaku saja Mas?” “Mboten-mboten Bu”. Akhirnya kulepaskan krahnya. Sesaat kemudian mas-mas itu pindah kursi di belakang. Mungkin syock dan takut sama reaksiku ya? Aku mulai melihat ritsliting tasku, oh masih tertutup. Aku cek dompet, HP, dan amplop-amplop…syukur deh masih ada. Sampai di rumah langsung kucek lagi. Aku takut uang arisan temanku hilang. Aku kok ya terlalu baik hati, temanku yang dapat arisan dah pulang, karena aku pegang arisan, uang itu kubawa pulang. Setelah kuhitung-hitung lagi, kok semuanya utuh. Aku mulai ragu-ragu tadi itu copet beneran pa bukan ya? Kok aku berani-beraninya pegang krahnya segala? Namanya juga spontan mempertahankan diri, dan dari dulu aku memang dah sebel banget sama makluk yang namanya copet. Mereka malas kerja, maunya dapat uang cepat. Hanya mikirin perutnya, gak mikirin orang lain. Coba kalo keluarganya dicopet, sedih dan marah juga, kan? Untung aku gak diapa-apain ya, coba kalo si mase bawa senjata. Makasih ya Tuhan, aku masih Kau lindungi. Anehnya si sopir dan kernet kok gak dengar dan liat adegan heroik tadi ya? 

Dulu pas mau nikah, aku dan calon suamiku naik Pemuda dari Gejayan. Karena bis penuh penumpang, calon suamiku berdiri di belakang karena terdesak penumpang yang baru masuk. Aku lebih suka berdiri di dekat pintu, biar turunnya cepet. Aku sudah curiga dengan laki-laki muda yang bawa amplop coklat besar layaknya mau nglamar pekerjaan. Anehnya dia hilir mudik saja, gak bisa diam di tempat, lebih-lebih pas ada penumpang mau turun, dia cepet-cepet menuju ke pintu. Suatu saat ada mahasiswa mau turun di Bundaran UGM, laki-laki itu dengan sigap mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan menutupi aksinya dengan amplopnya. Tanpa berpikir panjang, secepat kilat, mak set…kertas yang diambil copet itu kurebut dan kukasihkan pada si empunya. Si mahasiswa itu bingung, belum sadar kehilangan sesuatu. Wuih… ternyata gerakan tanganku gesit juga ya lebih cepat daripada si copet? Jangan-jangan aku juga berbakat? Amit-amit deh. Si copet langsung marah-marah padaku, aku sudah lupa apa kata-kataku saat itu tuk mempertahankan diri. Yang jelas calon suamiku langsung ke depan karena mendengar aku ribut dengan seseorang. Karena bis pas berhenti, langsung kutarik Masku turun. Si copet juga ikutan turun. Wah, bahaya nih kalo kami diapa-apain. Aku langsung masuk Supermarket Mirota Kampus dan menyelinap di antara orang-orang. Setelah yakin tidak dikuntit lagi, dengan perasaan campur aduk dan bibir bergetar kujelaskan dengan terbata-bata kejadian tadi ke calon suamiku. “O alah, ngono to, kok nekat koe, untung gak diapak-apake”, sambil ngomong begitu Masku mengacak-ngacak rambutku. Mungkin dalam hatinya berpikir, “Untung-untung selamat, wah cilaka 13 kalo gak jadi nikah”. Semangatku membeli sprei untuk pernikahan kami melayang sudah. Tanganku sih memilih-milih sprei tapi kejadian tadi terus membayangiku. Wuih, meski takutku muncul terlambat tapi aku tidak menyesal. Aku merasa sudah melakukan yang terbaik. Jujur sampai saat ini aku tidak tahu apakah kertas itu sesungguhnya penting untuk si mahasiswa atau enggak. Apa si copet tadi sebetulnya malu ya sama aku karena salah sasaran, bukannya uang yang didapat tapi cuma kertas. 

Yang lebih heboh lagi, pengalaman temenku si Keke. Dulu pas jamannya HP masih baru dan mahal-mahalnya, juga enggak semua orang bisa punya HP, Si Keke dah bisa menenteng-nenteng HP ke mana-mana. Pas naik bis ke Malioboro, HP Keke dicopet sama pemuda yang mefet terus di belakangnya. Si Keke tau banget aksi pencopet itu. Pencopet langsung cepat-cepat turun dari bis. Si Keke juga turun. Si copet cepat-copet menyetop bis, si Keke juga ikutan naik. Selama menguntiti copet, si Keke dengan lugu, menghiba-hiba kepada copet tuk mengembalikan HPnya. Entah karena kasihan dan gak tega melihat wajah Keke yang memelas setengah mau menangis, akhirnya HP itu dikembalikan oleh pemuda itu. Langsung saja wajah Keke berubah 180˚, sumringah dan senyumnya merekah. 

Parah lagi pas awal aku kuliah di Jogya tahun 1988. Waktu itu, bis yang dari Semarang berhenti di Borobudur Plaza. Mak byuk mahasiswa yang baru mudik pada turun. Tentu saja, selain bawa tas, kebanyakan bawa dus juga. Entah isinya beras , apa masakan ibu, atau juga buku-buku. Karena harus cepat-cepat turun, dan konsentrasinya terbagi dengan bawaannya. Si copet dengan bebas beraksi. Pernah aku liat, pemuda gempal yang aneh. Begitu turun, naik lagi, begitu berulang kali. Ternyata dia, mencoba melawan arus dan tangannya gesit menggerangi saku-saku atau tas-tas penumpang. 

Nah, kita pasti sedih, denger temen kos kita menjerit histeris dan menangis meraung-raung, karena uang jatah sebulan pa uang tuk bayar kuliah hilang, disikat copet. Kita juga tidak tega, melihat seraut wajah tua tiba-tiba berubah menjadi kelam dan muram. Uang pensiun yang mau dibelanjakan untuk kebutuhan 1 bulan berpindah tangan. Kita juga tidak ingin turis-turis lokal yang berkunjung di Jogja mendapat sambutan yang kurang enak gara kecopetan, kan?

Bener gak sih? Si sopir dan kenek kecipratan rejeki alias dapat tips dari pencopet? Makanya mereka diam tak beraksi? Bener enggak sih si pencopet punya kesaktian dan kekebalan? Dipukuli rame enggak apa-apa?Aku tidak mau berandai-andai, aku mau kita berhitung. Masak sih 1-2 copet tak bisa dilumpuhkan orang 1 bis? Kita sebagai penumpang dan juga Pak Sopir dan Mas Kernet harus punya keberanian. Kompak untuk melawan tindak kriminal. Jangan biarkan copet beraksi di bis. Kadang kita sama-sama lihat tetapi diam saja. Mungkin pada takut dan parahnya lagi karena cuek, tidak peduli dengan orang lain. Coba kalo 1 orang bilang copet, trus yang lain juga bilang “copet…copet…”. Trus si copet ditangkap rame-rame. Bisa juga si kenek mengkode sopir kalo ada copet di bisnya, dan sopir bisa mengarahkan ke pos polisi terdekat. Tentu saja, si Pak Polisi juga harus gesit dan mau memprosesnya bukannya melepas dan menjalin kerja sama. Apalagi sekarang jaman lebih modern, foto saja saat si copet sedang beraksi pake HP, syukur-syukur difoto wajahnya. Trus pasang tuh foto copet di bis, biar mereka malu dan kapok. Mereka enggak mau kan wajahnya dikenal ma tetangganya, pa anaknya, pa pacarnya? Ehm…kalo dipasang di Facebook mungkin enggak ya? Siapa tau copetnya gaul mereka juga facebookan. Nah kalo begitu, kita akan melihat para pensiunan tertawa riang, saat sang cucu mendapat oleh-oleh es krim atau mainan dari sang eyang.


CATATAN : Kisahku dengan copet dan curhatan lainnya dapat dibaca di Buku Curhat Jalan Raya yang diterbitkan oleh Leutika (http://www.leutikabooks.com/index.php)